Andai aku tak pernah
mengenalmu
Mungkin sampai saat ini
aku tak akan mengenal cinta
Cici
merapihkan rambutnya, memakai penjepit rambut kecil berwarna putih untuk kesan
manisnya hari ini. Meraih tasnya dan segera meninggalkan rumah.
“Cici!!”
baru sampai gerbang sekolah, seseorang memanggil namanya. Cici menoleh, Rico
rupanya.
“Apa?”
tanya Cici cuek.
Rico berlari-lari kecil mengejar Cici.
“Bareng yuk ke kelas!” ajak Rico.
“Bareng?Ada angin apa nih?”
“Enggak ada apa-apa”
Cici melanjutkan langkahnya yang juga diikuti oleh Rico. Waktu berjalan
begitu cepat, sekarang saja Cici sudah duduk dikelas 2 SMA.
“Ci, elu—“
Cici menoleh kesamping.
“Apa?”
“Elu suka sama Afriza ya?” tembak Rico.
Cici tersentak kaget. Afriza? Cowok itu! Cowok yang sudah berani
mengusik hatinya selama tiga tahun ini. Cici menunjukkan ekspresi yang datar,
namun ia tidak bisa menutupi rasa kesal dan keterkejutannya.
“Wah... beneran nih?” tambah Rico.
“Enggak, gua biasa aja”
Rico menggeleng, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah
lipatan kertas. Membukannya secara perlahan dan membuat Cici sedikit penasaran.
“Nih!” Rico menyodorkan kertas tadi. “Elo lihat nama-nama disini kan?”
Cici mengangguk.
“Dari daftar nama ini, kita bisa langsung tau kalau ini pasang-pasangan!
Nama pertama aja Ari sama Aila”
“Terus?”
“Masih belum jelas?”
Cici menatap Rico dengan tatapan sinis, “Belum” jawabnya.
Rico menunjuk pada barisan ke 12, dan Cici terpaksa melihat apa yang
ditunnjuk Rico. Apa yang dilihatnya kini cukup membuatnya terkejut. Dua buah
nama, Afriza dan Cici.
“Eh, ini siapa yang nulis?” tanya Cici tak percaya.
“Entah, gue nemu kertas ini dibawah meja gue kemaren, pas mau pulang”
“Oh...”
Rico tersenyum jahil.
“Aah... sekarang ketewak deh kalau lo suka sama Afriza!”
“Elo jangan nge-judge gua gitu dong! Itu kan cuma kerjaan orang iseng
aja”
“Cici... Cici... gue kenal elo gak sehari dua hari! Jadi gue tau persis
gimana elu!”
“Terus?”
“Dari ekspresi lo, kebaca tau!”
“Kebaca apa?” Cici masih berusaha menyangkal.
“Kebaca kalau elo tuh beneran jatuh cinta sama Afriza”
Cici menggeleng pelan, berusaha untuk tetap tenang. Walaupun hatinya
sedikit merasa risih.
“Tau gak”
“Apa lagi?”
“Afriza udah tau kok tentang kertas ini”
“Terus? Dia nganggep semua ini beneran? Dia nganggep gua suka sama dia
gitu?” tebak Cici.
“Kayaknya sih gitu Ci!”
“Masa?”
“Iya”
Cici menggelengkan kepalanya, “Gawat nih kalau begini”
“Dia bilang gini nih—“ Rico mengambil aba-aba dan posisi seakan-akan ia
adalah Afriza. “—Aah.. gak mungkin nih! Palingan juga kerjaan orang iseng!”
Rico berdehem.
“Gitu, Ci!”
Cici tertawa, tidak terlalu menanggapinya. Keduanya sudah sampai didepan
kelas. Cici masuk terlebih dahulu, disusul Rico.
“Ci!” panggil Rico.
“Apa?” tanya Cici.
“Akhirnya elo bisa jatuh cinta juga! Hahaha—“ bisik Rico.
Cici menoleh, tapi Rico sudah berlari menuju tempat duduknya sebelum
sempat Cici menyerbunya.
שׂשׂשׂ
“Aila!” panggil Cici.
Aila yang duduk dibelakang Cici langsung menoleh, tersenyum kearah Cici.
“What’s up?”
“Tau gak?”
“Elu kan belum bilang ke gue, jadi gue gak tau”
Cici mendengus, berdehem dan mulai bicara dengan suara pelan, “Rico tau
kalau gua demen sama Afri!”
Aila tersenyum jahil, “Bagus dong? Siapa tau elo mau dicomblangin sama
Rico, ya gak?”
Respon yang benar-benar tidak diharapkan Cici!
“Dan... kayaknya Afri juga udah tau” sambung Cici.
“Kok bisa?”
“Rico nemu kertas yang tulisannya ada nama-nama cewek sama cowok yang
udah dipasang-pasangin”
“Ada nama gue?”
Cici mengangguk, “Ada, paling pertama, Ari dan Aila”
Aila menelan ludah, “Tapi... bagus dong!”
“Apanya?” Cici menyeringai.
“Ya... emang udah saatnya perasaan lo itu terungkap. Jangan dipendam
lama-lama, Ci! Udah tiga tahun begitu”
“Tapi... kan gua gak siap, lagian juga gua gak mau ada yang tau”
“Kenapa?”
“Ya.. siapa tau pas dia tau perasaan gua, dia malah jadi ilfeel sama
gue”
“Cici, jangan mikir yang enggak-enggak dong!”
Cici mendesah pelan, kejadiannya benar-benar tidak bisa ia duga.
“Lebih baik dia gak usah tau deh, La! Gua punya firasat yang gak enak
untuk kelanjutannya” Cici mulai khawatir.
“Siapa tau dia juga suka sama elu! Kan gak ada yang bisa menyangka, Ci”
“Aila... jangan nyemangatin gua sama suatu hal yang gak pasti deh”
Cici membenahi posisi duduknya dan kembali menghadap kedepan. Aila malah
menggeleng tidak karuan.
שׂשׂשׂ
“Kenapa?” tanya Rico.
Afriza yang duduk disampingnya hanya Cuma bisa nyengir kuda, “Kayaknya...
pulpen gue habis tintanya deh!”
Rico mendengus, “Pinjam sana!”
“Elu punya pulpen dua?”
Rico mengeleng, “Boro- boro punya pulpen dua, punya pulpen satu aja gue
bersyukur banget!”
”Yang punya dua siapa ya?”
“Mm... gue tau!”
“Siapa?”
Rico mulai tersenyum jahil, “Si Cici”
“Cici?”
Rico mengangguk, “Iya, si... Farashi Meili, eh!! Meili Farashi!”
“Iys, gue juga tau kok kalau si Meili itu Cici”
“Pinjem sana!”
Afriza menggeleng, “Gak mau ah!”
“Kenapa? Inget kertas yang kemaren ya?”
Sedikit ragu, tapi Afriza mengangguk juga.
“Coba elo pastiin dulu, makanya... pinjem pulpen sana!”
“Elu aja deh!”
Rico mendengus pelan, Afriza terlihat sedikit tidak jantan kalau seperti
ini. Tapi akhirnya ia memanggil Cici juga. “Cici!”
Yang dipanggil namanya menoleh, “Apa?”
Rico melambaikan tangan, Cici jadi sedikit kecewa saat tau yang
memanggilnya Rico, “Kirain gua Afri yang manggil” batinnya.
“Apa?” tanya Cici lagi.
“Afri mau pinjem pulpen!” jawab Rico.
Afriza jadi ikut menoleh kearah Cici, lalu beralih ke Rico, dan kembali
ke Cici, “Bohon! Bohong! Si Rico yang gak punya pulpen!” ia mencoba berdalih
sambil mengacungkan pulpennya, yang sebenarnya tintanya habis.
Cici hanya menggeleng, tidak minat menanggapi lelucon Rico.
“Ci!” Rico memanggil lagi.
“Apa?”
“Pinjem pulpen! Kasihan tuh si Afri gak punya pulpen” ujar Rico sambil
melirik Afri, jahil.
Dengan enggan Cici merogoh tempat pensilnya, meraih sebuah pulpen dan
melemparnya kearah Rico.
“Thank’s ya!” ucap Rico.
“Balikin lagi!” tegas Cici.
Rico mengacungkan jempol sampai Cici kembali mengerjakan soalnya.
Ricopun langsung menyikut Afriza dan menyodorkan pulpen pinjaman tadi padanya.
“Gimana? Udah bisa menilai?” tanyaRico.
Afriza mengambil pulpen tadi sambil mengangguk. Ia tersenyum sipul,
“Ya... gitu deh”
שׂשׂשׂ
Cici mengetuk-ngetukkan jari- jari tangannya pada salah satu sisi meja.
Ia hampir saja meleleh kalau saja suara bel tidak menyelamatkannya sekarang.
“Seneng banget nih??” goda Fia.
Cici menoleh, tanpa menghentikan aktifitas jari-jari tangannya.
“Seneng apanya?”
“Iya, seneng banget udah bel!”
“Hahaha...” Cici tertawa renyah.
Setelah Bu Ami menutup pelajaran, semuanya bergegas keluar dari kelas.
“Cici!”
Cici sudah tau siapa pemilik suara ini, ia menoleh dan menemukan Rico
yang menyodorkan pulpen.
“Nih, thank’s ya!”
Cici mengambil kembali pulpennya, “Sama-sama”
“Kenapa bukan Afri aja yang ngembaliin pulpennya?” batin Cici.
“Aah... gua tau, elu ngarep si Afri kan yang ngembaliin?” goda rico,
seakan ia bisa membaca pikiran orang lain saja.
“Enggak tuh” ucap Cici cuek.
“Masa?”
Cici menggeleng, ia harus pergi dari tempat ini sebelum Rico menggodanya
lebih jauh. Ia meninggalkan kelas dengan cepat menuju tempat parkir. Hari yang
menjengkelkan! Setidaknya itu yang dipikirkan Cici saat ini.
שׂשׂשׂ
Oke, ini pasti jadi hari yang benar-benar menyebalkan untuk Cici. Ia
terjebak hujan! Terpaksa ia meneduhkan motornya, dan tentu saja ia juga ikut
berteduh. Tanpa pikir panjang ia segera berlari ke sebuah kios.
“Gua kira hari menyebalkannya udah selesai, ternyata masih ada
kelanjutannya!”
Cici menoleh kesekitarnya, ada beberapa murid dari sekolahnya ikut
berteduh bersamanya.
“Cici?”
Cici menoleh, ternyata Ari yang memanggilnya.
“Kehujanan ya?”
Cici mengangguk, “Iya, mana hujannya deras banget!”
Ari tersenyum, “Masuk dulu yuk!” ajaknya.
“Masuk?” Cici bingung.
“Iya, masuk ke dalam” ajaknya lagi.
Cici memerhatikan kios yang ada dibelakangnya, tempat ia berdiri
sekarang. Ia sangat tau kios ini! Cici terheran sendiri, kenapa ia tidak sadar
kalau itu adalah toko roti milik keluarga Ari.
“Masuk yuk!” ajak Ari lagi. “Entar lo kedinginan kalau diluar aja”
Cici mengangguk, lalu mengekor dibelakang Ari dan masuk kedalam toko.
Toko roti yang cukup unik, didesain dengan konsep klasik bertema kekolonialan
Belanda. Sekilas mirip seperti restoran kecil, namun hanya menyediakan panganan
roti dan kudapan, juga minuman.
Mereka duduk disalah satu meja, Cici sangat merasa nyaman berada
disaini.
“Sebentar ya!” pamit Ari.
Ia berjalan menuju dapur, dan tak lama ia segera kembali dan duduk
dihadapan Cici.
“Disini hangat ya?” Cici membuka pembicaraan.
Salah atu alis Ari terangkat keatas, “Hangat?”
Cici mengangguk, “Iya, ditoko elo in inyaman banget! Cocok buat berteduh
pas hujan”
“Jadi Cuma jadi tempat persinggahan aja gitu?”
Cici speechless,stuck! Mencoba meralat kata-katanya barusan, tapi Ari
langsung tertawa.
“Bukan gitu—“
“Iya, gue ngerti kok—“ potong Ari, “—gue juga suka kok ada disini,
suasananya menyenangkan”
Cici mengangguk.
“Terus.. wangi roti disini nyebar kemana-mana, pantesan aja pas gua
masih diluar tadi, gua nyium wangi roti”
Ari tertawa lagi.
“Penciuman elo yang tajam, atau emang wanginya sampai kedepan toko?”
Cici nyengir kuda, ”Dua-duanya deh kayaknya”
Mereka tertawa bersamaa, sampai salah satu pegawai toko mengantarkan dua
potong cake dan dua cangkit coklat panas ke meja mereka.
“Eh, gua kangak pesan apa-apa!” bela Cici setelah pegawai tadi
menghilang dibalik pintu dapur.
“Ini pesenan gue kok!” jelas Ari, “Daripada lo Cuma duduk disini,
mending lo cobain cake-nya”
Cici mengangguk.
“Ayo cobain” ujar Ari lagi.
Cici mengambil potongan kecil dari cake-nya an memakannya.
Tiramisu! Ia juga mencoba coklat panasnya sekarang.
“Panaaas!!!” seru Cici.
Ari tertawa, “Namanya juga coklat panas”
Cici nyengir kuda, lalu menyeruput coklat panasnya lagi perlahan.
Kemudian meletakkannya ketempat semula.
“Enak kan?”
Cici mengangguk, “Iya, enak banget!”
Ari ikut menyeruput coklat panasnya.
“Mmm... gimana hubungan lo sama Aila?” tanya Cici setelah Ari meletakkan
cangkirnya.
Yang ditanya hanya senyum-senyum. Cici merasa aneh saat melihat ekspresi
Ari, “ini orang kenapa senyum-senyum?”
“Baik kok!” jawab Ari akhirnya.
“Syukur deh”
“Yaa... Aila baik, gue seneng dia bisa nerima gue yang kayak begini”
“Emang lo kayak begimana?” tanya Cici bingung.
“Ya... kayak begini”
Cici mendengus, “Aneh lo!”
“Yang aneh tuh siapa sih??” balas Ari.
Keduanya tertawa lagi.
“Aila beruntung banget punya orang kayak elu, orang yang sayang banget
sama dia” ujar Cici disela-sela obrolan mereka.
Ari mengerutkan dahi, “Kalau elo?”
“Gak ada, kayaknya... gak ada yang nyayangin gua deh! Yah... selain
orang-orang terdekat gua”
“Belum muncul aja, Ci”
“Iya, belum muncul” ulang Cici.
Ari menyeruput coklat panasnya lagi, Cici ikut membeo.
“Jangan bandingin elo sama Aila, Ci! Atau... sama orang lain. Pasti
hasilnya bakal beda!”
Cici mengangguk, “Gua paham kok!”
Terbesit bayangan Afriza untuk sekejap, Cici langsung mengusirnya sambil
tersenyum kecut.
“Kenapa, Ci?” tanya ari begitu menyadari perubahan air wajah Cici.
Cici menggeleng, “Nothing”
“Mmm... lagi pula elo kan dulu sering bilang gak mau pacaran sebelum elo
sukses, ya gak?”
Cici tertegun, ia benar-benar mengingat kata-kata itu sekarang.
Kata-kata yang mengantisipasinya agar tidak sembarangan jatuh cinta.
“Masih inget aja, Ri” timpal Cici.
“Iya, laah! Gue sebenarnya setuju sama kata-kata lo itu. Dan gua juga
salut, elo berhasil membuktikan kata-kata itu!”
“Makasih”ucap Cici.
“Terus—“ Ari tersenyum jahil, “—elo pernah gak jatuh cinta?”
שׂשׂשׂ