skip to main | skip to sidebar

About me

Unknown
Lihat profil lengkapku

Subscribe To

Postingan
    Atom
Postingan
Komentar
    Atom
Komentar

Archivo del blog

  • ▼ 2014 (9)
    • ▼ Juli (3)
      • loving you was red {bab 6}
      • loving you was red {bab 5}
      • loving you was red {bab 4}
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (4)

Followers

chideph onyoon

Jumat, 11 Juli 2014

loving you was red {bab 6}

Cinta itu bentuk suatu emosi          
Tapi aku gak tau bagaimana cara mengendalikan emosi
Dan sejak Aila menceritakan semuanya pada Afriza, terciptalah benteng yang membatasi Cici dan Afriza. Keduanya tidak pernah bertegur sapa lagi. Dan sekarang, hanya satu yang Cici inginkan.
Afriza tidak membencinya.
Tapi, sepertinya harapan Cici yang ini, tidak akan berjalan lancar. Ia memastikanya sekali lagi, saat kebetulan ia da Afriza berpapasan. Afriza menatapnya dengan tatapan acuh, sorot matanya tidak pernah dilihat Cici sebelumnya, tatapan yang sangan tajam.
Mungkin tatapan jijik?
“Oh my God! Apa segitu menjijikkannya kah gua sampai dia gak mau senyum sama sekali?!”
“Cici, awas!!!”
Cici tersentak, hampir saja ia terjatuh! Kalau saja tidak ada seseorang yang meraih bahunya.
“Lo kenapa, Ci?”
Cici menoleh, Ari rupanya. Ia melepaskan dirinya.
“Oh, gak apa-apa kok!” jawab Cici.
Ari memandang perempuan dihadapannya itu dengan tatapan tidak yakin.
“Swear deh!” Cici mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya, untuk meyakinkan Ari.
“Bener?”
Cici mengangguk.
“Bagus deh” ucap Airi, “Tapi bener gak apa-apa?”
Cici mengangguk lagi.
“I’m well...”
“Oke kalau begi—“
“Elu ngapain ada didaerah anak IPA?” potong Cici.
“Nyariin Aila, dia dimana ya?”
“Tadi sih kalau gak salah lihat, dia ke perpus”
Ari mengangguk.
“Makasih ya, Ci!” ucap Ari kegirangan.
Cici ikut senang melihat Ari yang terlihat senang dan bersemangat. Laki-laki itu memang benar-benar baik. Cici bersyukur Aila punya pacar yang menyayanginya sepenuh hati. Setidaknya, sangat berguna untuk Cici, agar Afriza tidak terlalu dekat dengan Aila.
Sementara itu, Ari masuk kedalam perpustakaan dan tampak mencari sosok Aila di setiap kubikel. Akhirnya ia berhasil menemukan Aila, yang sedang berbincang dengan Fia, dan—
“Rico?”
Ia mengurungkan niatnya dan beranjak pergi dari perpustakaan.
שׂשׂשׂ
Dinding antara Cici dan Afriza makin terlihat, apalagi saat ujian semester 2 ini tiba. Mereka semakin terlihat seperti orang asing. Sampai ujian berakhirpun, Afriza tetap dingin.
“Sangat dingin”
“Gak betah ya dicuekin?” goda Fia.
Cici nyengir kuda, mereka keluar dari kelas.
“Siapa yang gak betah coba?!” Cici sewot.
“You have to move on, Ci!”
“Kalau move on segampang boker di celana sih, udah gua lakuin dari dulu!”
Fia tertawa mendengar banyolan Cici.
“Ya... ya... gue paham kok soal luka di hati lo itu”
“Jangan sok puitis deh”
Fia tertawa lagi.
“Coba ya Fi, kalau aja Aila gak pernah cerita-cerita sama Afri soal gua suka sama dia! Gak bakalan begini nih!” sesal Cici.
“Jadi... lo tetep mau jadi secret admirer gitu?”
Cici mengangguk.
“Dan suka sama dia diam-daiam?”
Cici mengangguk lagi.
“Gila lo! Timpal Fia. “Kalau begitu, gimana caranya dia bakalan respek elo? Kan dia gak tau kalau lo suka sama dia selama ini!”
Cici merangkil fia, ia meletakkan bibirnya didekat telinga Fia seraya berbisik.
“Lihat sekarang, lebih parah kan dari gak di respek? Gua di cuekin habis-habisan!”
Fia mendorong dirinya jauh-jauh dari Cici, memandang sahabatnya itu sambil menggeleng. Tatapan mata Cici menusuk, seperti menahan rasa kesal, rasa kesal yang dalam.
“Wajah lo serem!” tegur Fia.
Cici mengerutkan dahinya.
“Serem? Kenapa?”
“Gue tau elo kesel banget, Ci. Ya... bener juga sih kata-kata lo, parahan yang sekarang!”
“Bener kan?”
Cici menuruni anak tangga, disusul fia dibelakangnya.
“Aila masih dikelas ya?” tanya Cici.
“Iya, tadi kan dia nyuruh kita pergi duluan”
Cici menghela napas pelan.
“Fia!”
Fia menoleh, “Apa?”
“Mm... mungkin gak?”
Fia menggeleng tak paham, “Apanya?”
“Mungkin gak kalau orang yang disukai sama Afri itu—“
“Siapa?”
“—Aila?”
Fia hampir terjatuh kalau saja ia tidak bisa menahan bobot tubuhnya sendiri saat menuruni tangga. Cici tak kalah terkejutnya  melihat Fia yang nyaris terjatuh tersandung anak tangga.
“Kenapa lo?” tanya Cici.
“Gue kaget tau!”
“Hahaha... iya deh, maaf udah bikin kaget”
“Kok elo bisa ngomong kayak begitu sih?”
Keduanya berjalan sejajar.
“Kok elo bisa ngomong kayak begiu sih?” ulang Fia.
Cici tersenyum simpul.
“Firasat gua cukup kuat, Fiaa!!”
“Jangan Cuma ngandalin firasat, lo juga harus buktiin kebenarannya juga!”
“Ya... selain itu, gua juga bisa baca bahasa mata Afriza pas lagi ngobrol sama Aila!” Cici menarik menarik napas panjang. “Dan dari matanya, mengisyaratkan kalau dia cinta mati sama Aila! Dan dia pengen banget dapetin Aila” jelas Cici.
“Well... temen gua udah alih profesi jadi paranormal nih?” goda Fia.
“Gua seriusan!”
“Bahasa lo itu, lho! Masa’ menginginkan segala sih?”
Cici tertawa, “Lho? Afri itu kan bule tulen, bule itu kalau suka sama orang, punya ambisi buat dapetin orang itu!”
Fia menggeleng, ia mempercepat langkahnya dan berhenti dihadapan Cici. Cici ikut menghentikan langkahnya.
“Kenapa?”
“Whatever you say, you have to move on now, oke?” tegas Fia.
Cici tertegun, namun mengangguk juga.
“Ya... gua juga lagi nyoba move one, dari dulu malah!” Cici tertawa, namun tawanya terdengar parau.
“Nih orang bener-bener patah hati!” pikir Fia.
“Oke, I see” Fia menghela napas, “You need a hug?”
Cici menggeleng, namun tetap saja sahabatnya ini memeluknya. Cici memang tampak kuat, namun sebenarnya ia amat rapuh.
“Gua bakal mati-matian menata hati nih pas liburan” ujar Cici.
“Bagus dong, mumpung liburan, dan lo gak bakalan ketemu sama Mr. Grey itu”
“Si mata abu-abu?”
Fia mengangguk.
“Emang lo mau liburan kemana, Ci?”
“Entahlah, ke bulan kali!” jawab Cici asal.
שׂשׂשׂ
Cici menatap raportnya, nilai semester 2-nya meningkat dari semester 1. Ternyata patah hati ada untungnya juga, jadi sama sekali buta akan masalah cinta!
“Ranking berapa lo?” tanya Rico.
Cici baru menoleh, namun Rico terlalu gesit! Dia sudah merebut raport Cici.
“Wih!! Ranking 3 cuy!!” Rico kegirangan.
“Apaan sih lo! Sini balikin!!” pinta Cici dengan paksa.
Rico memasang muka cemberut, lalu mengembalikan raport Cici.
“Jangan marah dong, Ci...”
Cici tertawa, “Lebay lo! Masa’ gitu aja marah”
“Bagus!” ucap Rico girang, “Gitu dong, kalau lo marah-marah, nanti Afriza gak bakalan naksir elo!” goda Rico.
Cici tersenyum kecut, tidak menanggapi ucapan rico. Sebenarnya ia khawatir, khawatir Afriza akan mendengar ucapan Rico barusan.
“Elo ranking berapa? Cici bertanya balik.
“Gue?”
Cici mengangguk.
“Ya... lumayan lah, ranking 6” jawab Rico bangga.
“Itu mah bukan lumayan lagi! Tapi bagus!” Aila ikut menimpal.
“Ah elu! Ikut-ikutan aja” Rico berpura-pura kesal. Namun Cici dan Aila hanya tertawa melihat tingkah Rico.
“Gue tau lo ranking sati, La” ujar Rico sok pesimis.
“Ya... gak gitu juga, Rico” ucap Aila.
Iya, paham. Congratz ya!” Rico mengulurkan tangan.
Aila meraih tangan itu dan bersalaman.
“Selamat juga udah masuk 10 besar” ucap Aila.
“Iya” Rico mesem-mesem sendiri.
“Ehem!” Cici sengaja berdehem. Kedua orang tadi melirik ke arah Cici, dan baru ingat kalau ia masih ada disana. Keduanya jadi salah tingkah sendiri.
“Sesama mantan, gak boleh akrab!” Cici sok bijak.
“Lha? Kenapa?” tanya keduanya, nyaris bersamaan.  Keduanya jadi malu sendiri.
Cici menggeleng.
“Tuh, gua bilang juga jangan terlalu akrab! Sampai-sampai ngomongnya barengan gitu, lho!” goda Cici.
“Kenapa?” tanya Rico, kali ini Aila diam saja, takut berbarengan lagi.
“Masih tanya?”
Rico tertegun, mukanya sedikit memerah, “Oh, enggak kok! Gue... paham”
“Kenapa sih?” kini Aila yang angkat bicara.
“Lo masih nanya, La?” tanya Cici terheran.
“Nanti kalau terlalu akrab, takut CLBK gitu tuh!” jelas Rico dengan santainya, rona merah di mukanya sudah hilang.
Sinyal di otak Aila mulai bekerja, semburat merah muncul di wajah Aila. Sekarang gantian Aila yang merona malu.
“Aila? Muka lo kenapa? Merah gitu warnanya” goda Rico.
“Emang iya?” tanya Aila sedikit panik.
“Iya, salting ya?” timpal Cici ikut menggoda.
Rico tersenyum, ia mencoba membalikkan keadaan.
“Elu tau rankingnya Afri gak?” tanya Rico.
Cici tak tertarik membahasnya lebih jauh.
“Tau, ranking 18 kan?” tebak Cici asal-asalan.
“Wah! Elo udah nanya ke dia?” tanya Rico tak percaya.
“Serius? Udah nanya?” Aila membeo.
Cici sendiri terkejut, ia menggeleng.
“Enggak, ngapai nanya-nanya?”
“Terus dapet angka 18 dari mana?” tanya Rico.
“Asal”
“Asal?”
“Wah... jangan-jangan lo bener-bener ada chemistry sama Afri! Kereeen...” Rico menoleh kearah Afriza dan memanggilnya, “Afri!!! Si Cici—“
Cici tak mempedulikan Rico, maupun Aila, apalagi Afriza. Ia meraih tasnya dan pergi meninggalkan kelas.
שׂשׂשׂ
“Sial!” gerutu Cici.
Ia melempar tubuhnya keatas kasurnya yang empuk. Ia tidak bisa mengendalikan emosi itu, emosi yang berwujud cinta.
“Benarkah gua jatuh cinta sama seorang Afriza Leonardi Grey? Cowok blasteran bermata abu-abu. Ternyata... jatuh cinta itugak seindah di film-film atau novel picisan!”
Pikirannya dipenuhi Afriza sekarang.
“Pergi dong!!!” gerutu Cici.
Bayangan itu belum hilang.
“Pergiii!!!” jerit Cici.
“Siapa yang disuruh pegi?”
Cici menoleh kearah pintu. Bima kakaknya, sedang menyembulkan kepalanya masuk.
“Lo kenapa, Ci?”
Cici mmenggeleng, ia pun beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Bima. Kakaknya itu juga membuka lebar pintu kamar Cici.
“Are you okay?”
Cici mengangguk.
“Iya, baik banget kok!”

שׂשׂשׂ
Diposting oleh Unknown di 21.23

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod