Cinta memang menyakitkan
Tidak sedikit yang menderita karenanya
Cici mengerjapkan matanya, tersadar dari mimpinya.
Membuka matanya dan mulai beranjak dari posisinya.
“Mimpi masa kecil lagi...” dengusnya.
Ia melirik ke
arah jam weker yang bertengger dimeja belajarnya. Sudah jam 5 sore,ia bisa gila
kalau melanjutkan tidurnya saat ini. Iapun meraih ponselnya, ada sebuah pesan
masuk.
“Dari Aila...”
Gue bisa bantuin lo, gue minta nomornya Afri dong! :D
Cici mengirimkan sebuah nomor sesuai permintaan
Aila, nomor ponsel Afriza. Cici sendiri mendapatkannya dari Fia, dulu.
Dulu, Cici pernah sempat dekat dengan Afriza,
waktu kelas 3 SMP. Namun saat SMA, mereka seperti orang asing. Tidak ada
obrolan, atau saling mengirim SMS. Cici sendiri tidak tahu sebabnya.
Orang asing! Ya, Cici merasa begitu. Mungkin
Afriza tipe-tipe orang yang gampang melupakan orang lain. Yang diingatnya, Cuma
segelintir orang yang dianggapnya penting. Dan Cici merasa begitu, merasa tidak
penting bagi Afriza.
“Sakit ya jadi orang gak penting” ucapnya.
Ia meletakkan ponselnya kembali, beranjak dari
tempat duduknya dan meraih handuk putih, dan berjalan masuk ke kamar mandi.
שׂשׂשׂ
“Pagi!” sapa Afriza.
Cici tak bergeming, tidak menyadari Afriza yang
berada disampingnya, ia tetap menaiki anak tangga.
“Meili?”
Cici terkejut, Afriza sudah berada dihadapannya
dan menghalangi jalannya.
“LO bengong Mei? Kalau lagi bengong jangan naik
tangga, kalau jatuh kan berabe!” tegas Afriza, dari sorot matanya yang tajam,
ada siratan kepedulian disana.
“Gua gak bengong, elu ngagetin gua aja!”
“Gue udah manggil elo dari tadi, tapi elo gak
nengok sama sekali”
“Oh...” Cici mengannguk, keduanya saling
bertatapan, Cici cukup gugup melihat tatapan Afriza, ia benar-benar
terhipnotis! Apa ia benar-benar jatuh cinta sekarang?
“Boleh minggir?” tanya Cici, setelah berhasil
menguasai dirinya kembali.
Afriza sendiri terlihat terkejut dengan
perbuatannya sendiri, ia pun bergeser beberapa langkah dan membiarkan Cici
lewat. Ia juga mensejajarkan langkahnya bersamaan denga Cici.
“Pagi-pagi udah bengong aja” ujar Afriza.
Cici nyengir kuda, “Gua gak bengong kok!”
Oke, dia merasa lebih baik hari ini, Cici merasa
lebih beruntung dari hari kemarin.
“Pagi-pagi udah disapa orang ganteng”
Cici senyum-senyum sendiri.
“Meili!” panggil Afriza.
“Ya?” balas Cici seramah mungkin.
“Ada PR gak?”
Cici menggeleng, “Gak ada”
“Bener?”
Cici hanya mengangguk. Dan sampailah keduanya
didepan kelas. Cici masuk kedalam kelas lebih dahulu, disusul dengan Afriza
dibelakangnya.
“Cici!!!” seru Aila.
“Apa?” Cici berjalan menuju tempat duduknya.
“Kok bisa barengan gitu?” tanya Aila penasaran.
Cici tersenyum simpul, merasa bangga. “Kebetulan
aja sih..”
“Gak mungkin!” sangkal Aila.
“Terserah elo deh, La”
Aila tersenyum, mencoba menggoda Cici.
“Oh, iya! Lo apain nomornya Afri?” bisik Cici.
“Gue SMS-in lah!” jawab Aila dengan bangganya.
“Dia juga nanya gue dapet nomor dia dari siapa, gue jawab aja dari elo”
Cici hanya mengangguk.
“Terus dia nelpon gue, Ci”
“Terus?” Cici mulai tertarik dengan cerita Aila.
Akhirnya Aila menceritakan kejadian kemarin pada
Cici. Fia yang baru datang juga ikut nimbrung. Ketiganya terlihat asyik seperti
ibu-ibu arisan.
“Wah... deket nih!” goda Cici.
“Iya, kayaknya seru tuh! Coba gue juga begitu”
tambah Fia, girang.
Aila cengar-cengir sendiri.
“Yah... ini kan juga rencana nyomblangin si Cici
nih!” Aila mencubit pipi Cici.
“Lepasin dong!” rengek Cici.
Ketiganya tertawa, namun dalam hati Cici sedikit
menangis. Ia tidak yakin kalau dirinya sedang jatuh cinta. Tapi ia sendiri
tidak bisa memungkiri, setiap mendengar nama laki-laki bermata abu-abu itu,
hatinya tersentil.
Tapi lagi-lagi ia takut, atau khawatir. Dengan
perasaan seperti ini, apa ia bisa sehari saja tidak melihat Afriza?
Cinta memang aneh...
שׂשׂשׂ
Hari ini, Aila mengajak kerumah sakit. Dea, teman
sekelas mereka sakit. Cici tidak ada acara apapun, jadi ia mengiyakan.
Sementara Fia tidak bisa karena ada urusan keluarga.
Cici berdandan sekenanya, ia mengepang rambutnya
dibagia pinggir dan mengaitkannya dengan kepangan rambut lainnya disisi lain.
Ia sudah janjian dengan Aila, ia menunggu diujung gang rumah Aila.
“Tiiiin!!!” suara klakson mobil membuyarkan
lamunan Cici.
“Cici! Udah lama?” tanya Aila begitu membuka
pintu mobilnya.
Cici menggeleng, “Enggak kok”
“Ayo masuk!”
Cici mengiyakan, ia masuk kedalam mobil dan duduk
disamping Aila.
“Ci, dapet salam!” serbu Aila, girang.
Dahi Cici berkerut , ia mengaitkan rambutnya yang
sedikit tergeraik kebelakang telinganya, takut salah dengar.
“Apa?” tanya Cici.
“Lo dapet salam”
“Dari?”
“Dari—“ Aila menggantungkan kalimatnya, menggoda
Cici sedikit.
“Siapa?” tanya Cici.
“—Afriza” jawab Aila.
Cici tertawa, tidak percaya, “Ngaco lo!”
Mobil Aila meninggalkan tempat tadi.
“Ya enggak lah!” ucap aila, ia merogoh tas
tangannya dan meraih ponselnya. Setelah menutak-atik ponselnya, ia
menyerahkannya pada Cici.
Cici melihat apa yang tertera disana, sebuah
pesan singkat dari Afriza.
Oh... Salamin ya ke DIA, have fun!
“Dia yang dimaksud
itu elo, Ci!” jelas Aila.
“Elo duluan kan yan nyalamin dari gua?” Cici
menatap Aila tajam
Aila menggeleng,
“Enggak”
“Terus?”
“Elo liat aja deh SMS sebelumnya”
Cici mengiyakan, ia melihat semua pesan antara keduanya,
membacanya dengan penuh minat.
“Ya kan?” tanya Aila.
Cici menyerahkan kembali ponsel milik Aila,
“Kayaknya makin oke, nih!” godanya.
“Oke apanya?”
“Makin deket aja sama Afri”
Aila tersenyum kecut, berhasil membaca maksud
dari sahabatnya ini, “dia cemburu!!” batinnya.
“Lu baca SMS semuanya?”
Cici mengangguk.
“Gak semuanya juga sih, La. Yang kebaca aja sama
gua” jawab Cici dengan ramahnya.
“Mm... gue lumayan deket sih sama dia, namanya
juga udah sekelas sama dia dari kelas 2 SMP, masa’ sekarang gak deket. Udah 4
tahun gue sekelas sama dia, Ci!” jelas Aila.
Cici menelan ludah, “Yah... gua 2 tahun sekelas,
gak deket-deket!”
“Iri ya??” goda Aila.
Cici menggeleng. Aila menyodorkan ponselnya lagi
kearah Cici, Cici melihat notifikasi pesan masuk dari Ari.
“Lihat nih! Gue udah punya Ari kok, gak perlu
jealous sama gue gitu, Ci”
Cici tersenyum, “Gua gak jealous kok, gua tau elo
berteman baik sama Afriza, lebih baik daripada gua”
“Tuh kan jealous lagi!”
Cici mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya,
membentuk tanda piece dengan kedua tangannya.
“Enggak kok, gua gak jealous, La”
“Gue sama dia Cuma bersahabat aja kok” jelas
Aila.
Cici mengangguk, “Paham kok”
שׂשׂשׂ
“Lo kok gak bilang kalau ada
Ari?” tanya Cici.
Ari terlihat di loby rumah sakit, bersama Rico,
Rakha, pacar Dea, Astrid dan Karin. Ari langsung berdiri menyambut Cici dan
Aila.
“Lha? Gue kira lo udah liat SMS dari Ari!” tuduh
Aila.
“Lo Cuma ngasih liat notifikasinya aja kok!” bela
Cici.
Aila cengengesan.
שׂשׂשׂ
“Makasih udah jengukin gue ya!”
ucap Dea.
“Ini kan bentuk perhatian kita” ujar Rakha.
“Perhatian kita atau perhatian lo doang nih?”
ledek Astrid.
Gelak tawa terdengar diruangan Dea, keceriaan
mengisi ruangan tempat Dea berada. Cici melirik kesamping, Ari tepat berada
disampingnya.
“Ari!” panggil Cici sambil menyikutnya.
“Apa?” tanya Ari.
“Jagain Aila ya!” Cici menatap Ari, tajam.
“Tentu”
שׂשׂשׂ
Cici memasuki kelas, masih sepi. Namun ada yang
menarik perhatiannya. Afriza sudah berada dalam kelas! Ia tampak serius dengan
buku pelajarannya.
“Iya ya? Ujian tinggal seminggu lagi..”
Ia duduk dikursinya, memosisikan dirinya untuk
melihar Afriza dari belakang kelas.
“Afri!” panggil Cici.
Afriza menoleh dengan senyum khasnya yang
menawan.
“Apa?”
“Semangat banget lo?” Cici basa basi.
“Iya nih, bentar lagi kan ujian”
Cici mengangguk setuju, Afriza kembali menggeluti
bukunya, dan Cici terpaksa membenahi posisi duduknya lagi.
“Meili!” kali ini Afriza yang memanggil.
“Dia manggil gua!!”
Cici girang dan menoleh, “Ya?”
“Lo belajar juga dong! Jangan matematikanya aja
yang dijagoin, pelajaran lain juga!”
“Maksud lo... Biologi?” sindir Cici.
Biologi, pelajaran favorit Afriza. Dan sepanjang
pengetahuan Cici mengenai si mata biru ini, nilai mata pelajaran Biologi Afriza
tidak pernah kurang dari angka 8,5.
“Iya, itu juga termasuk, tapi pelajaran yang lain
juga”
“Iya deh...”
Cici membenahi posisi duduknya lagi, sekaligus
membenahi hatinya. Getaran aneh itu muncul lagi! Dan Cici merasa risih dengan
semua itu.
“Awal yang baik”
Ya, mungkin ini terakhir kalinya Cici dan Afriza
berakrab-akrab ria.
שׂשׂשׂ
Ponsel Cici terus berdering, entah sudah kesekian
kalinya. Ia berlari masuk ke kamarnya dan meraih ponselnya.
“Aila?”
“Halo? Kenapa, La?”
“Malam” sapa Aila.
“Malam juga” balas Cici, “Kenapa nih? Tiba-tiba
nelpon gini?”
“Ci, tadi gue ketemu Afri di Gramed!” ujar Aila
bersemangat.
Sementara Cici harus tersenyum kecut, untunglah
ini pembicaraan lewat telepon. Aila pasti bisa membaca air mukanya yang saat
ini terlihat jealous.
“Iya? Terus? Lo ngobrol-ngobrol?” Cici tak kalah semangatnya dengan Aila.
Aila yang berada diseberang sana tersenyum sambil
memainkan ujung-ujung rambutnya. Ia mencoba menggoda Cici melalui ceritanya.
“Iya, kita ngobrol-ngobrol! Dan gue... langsung
nge-judge dia dengan kata-kata yang— , well! Mungkin bisa bikin dia sadar”
“Maksud lo?”
“Gue bilang—“
שׂשׂשׂ
“Elu gak peka banget ya!” tembak Aila tanpa pikir
panjang.
Afriza mengerutkan dahinya, tidak mengerti maksud
Aila yang tiba-tiba men-judgenyan dengan kata ‘TIDAK PEKA’. Tidak peka terhadap
apa?
“Gak peka apanya?”
“Iya, ada yang suka sama elo!” tegas Aila,
“Sayang malah!”
Afriza menatap Aila tak percaya.
“Masa’ sih?”
“Lo gak tau?” Aila menatapnya dengan tatapan
tajam.
“Enggak” jawab Afriza, “Siapa?”
“Cici!”
Afriza tertegun.
“Cici? Mm... Meili?”
“Iya, Meili! Meili Farashi”
Afriza merapihkan kerah kemejanya lalu mendehem,
mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak buku.
“Lo jangan ngaco!” tegur Afriza.
“Lo gak pernah denger ini sebelumnya?” tanya
Aila.
Afriza ragu, tapi mengangguk juga.
“Gue pernah denger sih, selentingan si Rico. I
thought he played a joke on me” jelasnya.
“But it’s the true one!”
“Gak mungkin, dari gelagat dia, dia nganggep gue
orang biasa” bela Afriza.
“Ya... dia emang pinter nyembunyiin perasaannya,
walau kadang kebaca juga”
Pandangan Afriza kembali pada Aila yang ada
dihadapannya, “Jadi ini Cuma hasil pengelihatan elo aja?”
Aila menggeleng.
“Dia sayang sama elo dari kelas 2 SMP, lho!”
tambah Aila.
Afriza dibuat terkejut lagi.
“Dia udah suka sama gue lama banget dong?”
Aila mengangguk.
“Masa’ sih, La?” Afriza masih tidak bisa percaya.
“Gue bener-bener gak percaya kalu dia udah suka sama gue hampir tiga tahun?!”
“Dan elo gak sadar sampai saat ini?”
“Enggak, sama sekali!”
Aila mendesah pelan.
“Nah, makanya nih gue kasih tau ke elo,biar
semuanya jelas. Ya... walaupun bukan Cici sendiri yang nyampein semuanya, tapi
gue udah cukup kan buatb ngewakilin dia?” ujar Aila, bangga dengan dirinya.
Afriza terbatuk, untuk menyegarkan pikirannya.
“Tapi sayang ya...”
“Sayang kenapa?” tanya Aila.
“Gue suka sama orang lain” jawab Afriza.
Sekarang Aila-lah yang terkejut.
“Lo suka sama orang lain?!”
Afriza mengangguk.
“Siapa?”
Afriza tersenyum jahil, “Ada deh!”
“Tuh kaan!!!” protes Aila, “Siapa? Anak kelas?”
Afriza mengangguk, “Ya... kira-kira begitu lah”
“Siapa sih?” Aila makin penasaran.
“Nanti elo juga bakalan tau siapa orangnya”
“Kapan?”
Afriza mengangkat kedua bahunya, Entahlah, yang
jelas bukan sekarang. Nanti kalau udah waktunya gue kasih tau ke elo kok!”
janji Afriza.
שׂשׂשׂ
Cici speechless, tidak bisa berkomentar apapun
saat ini. Ia masih terkejut dengan cerita Aila. Cerita yang cukup menggelitik
rasa penasarannya
“Siapa ya?” tanya Aila.
“Wah... elu penasaran, La?” goda Cici.
“Lha? Emang elo gak penasaran?” balas Aila.
“Ya... lumayan”
“Lumayan apa banget?”
Cici tertawa, Aila ikut tertawa diseberang sana.
“Yah... pupus sebelum berkembang dong!” ujar Cici
dengan nada putus asa, namun disusul dengan tawa kembali.
“Jangan gitu dong! Siapa tau orang itu elo!”
asumsi Aila.
Cici menggeleng.
“Jangan bikin gua berharap! Kalau sudah begini,
tinggal tunggu tanggal kadaluwarsanya aja” ujarnya.
“Jangan pupus harapan Cici sayang... nanti gue
tanyain lagi deh!”
“Terserah elo aja deh! Eh, gua tutup dulu ya!
Mama gua udah menggil-manggil nama gua nih!” pamit Cici.
Aila tertawa, “Lo kira jin gitu?
Dipangil-panggil”
“Hahaha...” Cici tertawa garing.
“Lo gak usah ngeles deh, gue tau habis ini lo
bakalan naik ke atas kasur, terus ngambil guling lo dan—“
“Nangis?” potong Cici.
“Yup!”
“Heei! Emang gua selemah dan secengeng itu?!”
“Bukan maksudnya begitu, Ci”
“Terus?” tanya Cici, “Gua gak apa-apa kok, La!”
“Dan lo bakal nangis habis ini”
“Shut up,La!” bentak Cici, “I’m well...” suara Cici langsung berubah kembali.
Terdengar suara
desahan pelan dari seberang sana.
“Oke kalau begitu, gue
Cuma khawatir aja sama elo, Ci! Elo kan baru pertama kali jatuh cinta, jadi gue
takut kalau lo langsung patah hati begitu tau hal ini. Gue... juga sempat mikir
buat enggak cerita soal ini ke elo. Tapi gue Cuma mau cerita kebenarannya aja,
gue gak mau nutup-nutupin” jelas Aila.
“I see, thank’s ya Aila” ucap Cici, ia memutuskan pembicaraan.
Speechless.
Cici tersenyum simpul
, cukup terkejut dengan semua cerita Aila.
“Ya, lo salah
Aila”
Ternyata cinta sesakit
ini saat kita tak bisa menggapainya. Setidaknya itu yang bisa Cici tangkap.
sekelibat bayangan kejadia beberapa tahun silam berputar dikepala Cici. Cici
tidak bisa menangkapnya lebih jelas
Ia harus tidur
sekarang!
שׂשׂשׂ
0 komentar:
Posting Komentar