skip to main | skip to sidebar

About me

Unknown
Lihat profil lengkapku

Subscribe To

Postingan
    Atom
Postingan
Komentar
    Atom
Komentar

Archivo del blog

  • ▼ 2014 (9)
    • ▼ Juli (3)
      • loving you was red {bab 6}
      • loving you was red {bab 5}
      • loving you was red {bab 4}
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (4)

Followers

chideph onyoon

Kamis, 10 Juli 2014

loving you was red {bab 4}

Cinta memang menyakitkan
Tidak sedikit yang menderita karenanya
                Cici mengerjapkan matanya, tersadar dari mimpinya. Membuka matanya dan mulai beranjak dari posisinya.
                “Mimpi masa kecil lagi...” dengusnya.
Ia melirik ke arah jam weker yang bertengger dimeja belajarnya. Sudah jam 5 sore,ia bisa gila kalau melanjutkan tidurnya saat ini. Iapun meraih ponselnya, ada sebuah pesan masuk.
“Dari Aila...”

Gue bisa bantuin lo, gue minta nomornya Afri dong! :D

Cici mengirimkan sebuah nomor sesuai permintaan Aila, nomor ponsel Afriza. Cici sendiri mendapatkannya dari Fia, dulu.
Dulu, Cici pernah sempat dekat dengan Afriza, waktu kelas 3 SMP. Namun saat SMA, mereka seperti orang asing. Tidak ada obrolan, atau saling mengirim SMS. Cici sendiri tidak tahu sebabnya.
Orang asing! Ya, Cici merasa begitu. Mungkin Afriza tipe-tipe orang yang gampang melupakan orang lain. Yang diingatnya, Cuma segelintir orang yang dianggapnya penting. Dan Cici merasa begitu, merasa tidak penting bagi Afriza.
“Sakit ya jadi orang gak penting” ucapnya.
Ia meletakkan ponselnya kembali, beranjak dari tempat duduknya dan meraih handuk putih, dan berjalan masuk ke kamar mandi.
שׂשׂשׂ
“Pagi!” sapa Afriza.
Cici tak bergeming, tidak menyadari Afriza yang berada disampingnya, ia tetap menaiki anak tangga.
“Meili?”
Cici terkejut, Afriza sudah berada dihadapannya dan menghalangi jalannya.
“LO bengong Mei? Kalau lagi bengong jangan naik tangga, kalau jatuh kan berabe!” tegas Afriza, dari sorot matanya yang tajam, ada siratan kepedulian disana.
“Gua gak bengong, elu ngagetin gua aja!”
“Gue udah manggil elo dari tadi, tapi elo gak nengok sama sekali”
“Oh...” Cici mengannguk, keduanya saling bertatapan, Cici cukup gugup melihat tatapan Afriza, ia benar-benar terhipnotis! Apa ia benar-benar jatuh cinta sekarang?
“Boleh minggir?” tanya Cici, setelah berhasil menguasai dirinya kembali.
Afriza sendiri terlihat terkejut dengan perbuatannya sendiri, ia pun bergeser beberapa langkah dan membiarkan Cici lewat. Ia juga mensejajarkan langkahnya bersamaan denga Cici.
“Pagi-pagi udah bengong aja” ujar Afriza.
Cici nyengir kuda, “Gua gak bengong kok!”
Oke, dia merasa lebih baik hari ini, Cici merasa lebih beruntung dari hari kemarin.
“Pagi-pagi udah disapa orang ganteng”
Cici senyum-senyum sendiri.
“Meili!” panggil Afriza.
“Ya?” balas Cici seramah mungkin.
“Ada PR gak?”
Cici menggeleng, “Gak ada”
“Bener?”
Cici hanya mengangguk. Dan sampailah keduanya didepan kelas. Cici masuk kedalam kelas lebih dahulu, disusul dengan Afriza dibelakangnya.
“Cici!!!” seru Aila.
“Apa?” Cici berjalan menuju tempat duduknya.
“Kok bisa barengan gitu?” tanya Aila penasaran.
Cici tersenyum simpul, merasa bangga. “Kebetulan aja sih..”
“Gak mungkin!” sangkal Aila.
“Terserah elo deh, La”
Aila tersenyum, mencoba menggoda Cici.
“Oh, iya! Lo apain nomornya Afri?” bisik Cici.
“Gue SMS-in lah!” jawab Aila dengan bangganya. “Dia juga nanya gue dapet nomor dia dari siapa, gue jawab aja dari elo”
Cici hanya mengangguk.
“Terus dia nelpon gue, Ci”
“Terus?” Cici mulai tertarik dengan cerita Aila.
Akhirnya Aila menceritakan kejadian kemarin pada Cici. Fia yang baru datang juga ikut nimbrung. Ketiganya terlihat asyik seperti ibu-ibu arisan.
“Wah... deket nih!” goda Cici.
“Iya, kayaknya seru tuh! Coba gue juga begitu” tambah Fia, girang.
Aila cengar-cengir sendiri.
“Yah... ini kan juga rencana nyomblangin si Cici nih!” Aila mencubit pipi Cici.
“Lepasin dong!” rengek Cici.
Ketiganya tertawa, namun dalam hati Cici sedikit menangis. Ia tidak yakin kalau dirinya sedang jatuh cinta. Tapi ia sendiri tidak bisa memungkiri, setiap mendengar nama laki-laki bermata abu-abu itu, hatinya tersentil.
Tapi lagi-lagi ia takut, atau khawatir. Dengan perasaan seperti ini, apa ia bisa sehari saja tidak melihat Afriza?
Cinta memang aneh...
שׂשׂשׂ
Hari ini, Aila mengajak kerumah sakit. Dea, teman sekelas mereka sakit. Cici tidak ada acara apapun, jadi ia mengiyakan. Sementara Fia tidak bisa karena ada urusan keluarga.
Cici berdandan sekenanya, ia mengepang rambutnya dibagia pinggir dan mengaitkannya dengan kepangan rambut lainnya disisi lain. Ia sudah janjian dengan Aila, ia menunggu diujung gang rumah Aila.
“Tiiiin!!!” suara klakson mobil membuyarkan lamunan Cici.
“Cici! Udah lama?” tanya Aila begitu membuka pintu mobilnya.
Cici menggeleng, “Enggak kok”
“Ayo masuk!”
Cici mengiyakan, ia masuk kedalam mobil dan duduk disamping Aila.
“Ci, dapet salam!” serbu Aila, girang.
Dahi Cici berkerut , ia mengaitkan rambutnya yang sedikit tergeraik kebelakang telinganya, takut salah dengar.
“Apa?” tanya Cici.
“Lo dapet salam”
“Dari?”
“Dari—“ Aila menggantungkan kalimatnya, menggoda Cici sedikit.
“Siapa?” tanya Cici.
“—Afriza” jawab Aila.
Cici tertawa, tidak percaya, “Ngaco lo!”
Mobil Aila meninggalkan tempat tadi.
“Ya enggak lah!” ucap aila, ia merogoh tas tangannya dan meraih ponselnya. Setelah menutak-atik ponselnya, ia menyerahkannya pada Cici.
Cici melihat apa yang tertera disana, sebuah pesan singkat dari Afriza.

Oh... Salamin ya ke DIA, have fun!

                “Dia yang dimaksud itu elo, Ci!” jelas Aila.
“Elo duluan kan yan nyalamin dari gua?” Cici menatap Aila tajam
                Aila menggeleng, “Enggak”
“Terus?”
“Elo liat aja deh SMS sebelumnya”
Cici mengiyakan, ia melihat semua pesan antara keduanya, membacanya dengan penuh minat.
“Ya kan?” tanya Aila.
Cici menyerahkan kembali ponsel milik Aila, “Kayaknya makin oke, nih!” godanya.
“Oke apanya?”
“Makin deket aja sama Afri”
Aila tersenyum kecut, berhasil membaca maksud dari sahabatnya ini, “dia cemburu!!” batinnya.
“Lu baca SMS semuanya?”
Cici mengangguk.
“Gak semuanya juga sih, La. Yang kebaca aja sama gua” jawab Cici dengan ramahnya.
“Mm... gue lumayan deket sih sama dia, namanya juga udah sekelas sama dia dari kelas 2 SMP, masa’ sekarang gak deket. Udah 4 tahun gue sekelas sama dia, Ci!” jelas Aila.
Cici menelan ludah, “Yah... gua 2 tahun sekelas, gak deket-deket!”
“Iri ya??” goda Aila.
Cici menggeleng. Aila menyodorkan ponselnya lagi kearah Cici, Cici melihat notifikasi pesan masuk dari Ari.
“Lihat nih! Gue udah punya Ari kok, gak perlu jealous sama gue gitu, Ci”
Cici tersenyum, “Gua gak jealous kok, gua tau elo berteman baik sama Afriza, lebih baik daripada gua”
“Tuh kan jealous lagi!”
Cici mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk tanda piece dengan kedua tangannya.
“Enggak kok, gua gak jealous, La”
“Gue sama dia Cuma bersahabat aja kok” jelas Aila.
Cici mengangguk, “Paham kok”
שׂשׂשׂ
“Lo kok gak bilang kalau ada Ari?” tanya Cici.
Ari terlihat di loby rumah sakit, bersama Rico, Rakha, pacar Dea, Astrid dan Karin. Ari langsung berdiri menyambut Cici dan Aila.
“Lha? Gue kira lo udah liat SMS dari Ari!” tuduh Aila.
“Lo Cuma ngasih liat notifikasinya aja kok!” bela Cici.
Aila cengengesan.
שׂשׂשׂ
“Makasih udah jengukin gue ya!” ucap Dea.
“Ini kan bentuk perhatian kita” ujar Rakha.
“Perhatian kita atau perhatian lo doang nih?” ledek Astrid.
Gelak tawa terdengar diruangan Dea, keceriaan mengisi ruangan tempat Dea berada. Cici melirik kesamping, Ari tepat berada disampingnya.
“Ari!” panggil Cici sambil menyikutnya.
“Apa?” tanya Ari.
“Jagain Aila ya!” Cici menatap Ari, tajam.
“Tentu”
שׂשׂשׂ
Cici memasuki kelas, masih sepi. Namun ada yang menarik perhatiannya. Afriza sudah berada dalam kelas! Ia tampak serius dengan buku pelajarannya.
“Iya ya? Ujian tinggal seminggu lagi..”
Ia duduk dikursinya, memosisikan dirinya untuk melihar Afriza dari belakang kelas.
“Afri!” panggil Cici.
Afriza menoleh dengan senyum khasnya yang menawan.
“Apa?”
“Semangat banget lo?” Cici basa basi.
“Iya nih, bentar lagi kan ujian”
Cici mengangguk setuju, Afriza kembali menggeluti bukunya, dan Cici terpaksa membenahi posisi duduknya lagi.
“Meili!” kali ini Afriza yang memanggil.
“Dia manggil gua!!”
Cici girang dan menoleh, “Ya?”
“Lo belajar juga dong! Jangan matematikanya aja yang dijagoin, pelajaran lain juga!”
“Maksud lo... Biologi?” sindir Cici.
Biologi, pelajaran favorit Afriza. Dan sepanjang pengetahuan Cici mengenai si mata biru ini, nilai mata pelajaran Biologi Afriza tidak pernah kurang dari angka 8,5.
“Iya, itu juga termasuk, tapi pelajaran yang lain juga”
“Iya deh...”
Cici membenahi posisi duduknya lagi, sekaligus membenahi hatinya. Getaran aneh itu muncul lagi! Dan Cici merasa risih dengan semua itu.
“Awal yang baik”
Ya, mungkin ini terakhir kalinya Cici dan Afriza berakrab-akrab ria.
שׂשׂשׂ
Ponsel Cici terus berdering, entah sudah kesekian kalinya. Ia berlari masuk ke kamarnya dan meraih ponselnya.
“Aila?”
“Halo? Kenapa, La?”
“Malam” sapa Aila.
“Malam juga” balas Cici, “Kenapa nih? Tiba-tiba nelpon gini?”
“Ci, tadi gue ketemu Afri di Gramed!” ujar Aila bersemangat.
Sementara Cici harus tersenyum kecut, untunglah ini pembicaraan lewat telepon. Aila pasti bisa membaca air mukanya yang saat ini terlihat jealous.
“Iya? Terus? Lo ngobrol-ngobrol?”  Cici tak kalah semangatnya dengan Aila.
Aila yang berada diseberang sana tersenyum sambil memainkan ujung-ujung rambutnya. Ia mencoba menggoda Cici melalui ceritanya.
“Iya, kita ngobrol-ngobrol! Dan gue... langsung nge-judge dia dengan kata-kata yang— , well! Mungkin bisa bikin dia sadar”
“Maksud lo?”
“Gue bilang—“
שׂשׂשׂ
“Elu gak peka banget ya!” tembak Aila tanpa pikir panjang.
Afriza mengerutkan dahinya, tidak mengerti maksud Aila yang tiba-tiba men-judgenyan dengan kata ‘TIDAK PEKA’. Tidak peka terhadap apa?
“Gak peka apanya?”
“Iya, ada yang suka sama elo!” tegas Aila, “Sayang malah!”
Afriza menatap Aila tak percaya.
“Masa’ sih?”
“Lo gak tau?” Aila menatapnya dengan tatapan tajam.
“Enggak” jawab Afriza, “Siapa?”
“Cici!”
Afriza tertegun.
“Cici? Mm... Meili?”
“Iya, Meili! Meili Farashi”
Afriza merapihkan kerah kemejanya lalu mendehem, mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak buku.
“Lo jangan ngaco!” tegur Afriza.
“Lo gak pernah denger ini sebelumnya?” tanya Aila.
Afriza ragu, tapi mengangguk juga.
“Gue pernah denger sih, selentingan si Rico. I thought he played a joke on me” jelasnya.
“But it’s the true one!”
“Gak mungkin, dari gelagat dia, dia nganggep gue orang biasa” bela Afriza.
“Ya... dia emang pinter nyembunyiin perasaannya, walau kadang kebaca juga”
Pandangan Afriza kembali pada Aila yang ada dihadapannya, “Jadi ini Cuma hasil pengelihatan elo aja?”
Aila menggeleng.
“Dia sayang sama elo dari kelas 2 SMP, lho!” tambah Aila.
Afriza dibuat terkejut lagi.
“Dia udah suka sama gue lama banget dong?”
Aila mengangguk.
“Masa’ sih, La?” Afriza masih tidak bisa percaya. “Gue bener-bener gak percaya kalu dia udah suka sama gue hampir tiga tahun?!”
“Dan elo gak sadar sampai saat ini?”
“Enggak, sama sekali!”
Aila mendesah pelan.
“Nah, makanya nih gue kasih tau ke elo,biar semuanya jelas. Ya... walaupun bukan Cici sendiri yang nyampein semuanya, tapi gue udah cukup kan buatb ngewakilin dia?” ujar Aila, bangga dengan dirinya.
Afriza terbatuk, untuk menyegarkan pikirannya.
“Tapi sayang ya...”
“Sayang kenapa?” tanya Aila.
“Gue suka sama orang lain” jawab Afriza.
Sekarang Aila-lah yang terkejut.
“Lo suka sama orang lain?!”
Afriza mengangguk.
“Siapa?”
Afriza tersenyum jahil, “Ada deh!”
“Tuh kaan!!!” protes Aila, “Siapa? Anak kelas?”
Afriza mengangguk, “Ya... kira-kira begitu lah”
“Siapa sih?” Aila makin penasaran.
“Nanti elo juga bakalan tau siapa orangnya”
“Kapan?”
Afriza mengangkat kedua bahunya, Entahlah, yang jelas bukan sekarang. Nanti kalau udah waktunya gue kasih tau ke elo kok!” janji Afriza.
שׂשׂשׂ
Cici speechless, tidak bisa berkomentar apapun saat ini. Ia masih terkejut dengan cerita Aila. Cerita yang cukup menggelitik rasa penasarannya
“Siapa ya?” tanya Aila.
“Wah... elu penasaran, La?” goda Cici.
“Lha? Emang elo gak penasaran?” balas Aila.
“Ya... lumayan”
“Lumayan apa banget?”
Cici tertawa, Aila ikut tertawa diseberang sana.
“Yah... pupus sebelum berkembang dong!” ujar Cici dengan nada putus asa, namun disusul dengan tawa kembali.
“Jangan gitu dong! Siapa tau orang itu elo!” asumsi Aila.
Cici menggeleng.
“Jangan bikin gua berharap! Kalau sudah begini, tinggal tunggu tanggal kadaluwarsanya aja” ujarnya.
“Jangan pupus harapan Cici sayang... nanti gue tanyain lagi deh!”
“Terserah elo aja deh! Eh, gua tutup dulu ya! Mama gua udah menggil-manggil nama gua nih!” pamit Cici.
Aila tertawa, “Lo kira jin gitu? Dipangil-panggil”
“Hahaha...” Cici tertawa garing.
“Lo gak usah ngeles deh, gue tau habis ini lo bakalan naik ke atas kasur, terus ngambil guling lo dan—“
“Nangis?” potong Cici.
“Yup!”
“Heei! Emang gua selemah dan secengeng itu?!”
“Bukan maksudnya begitu, Ci”
“Terus?” tanya Cici, “Gua gak apa-apa kok, La!”
“Dan lo bakal nangis habis ini”
“Shut up,La!” bentak Cici, “I’m well...” suara Cici langsung berubah kembali.
Terdengar suara desahan pelan dari seberang sana.
“Oke kalau begitu, gue Cuma khawatir aja sama elo, Ci! Elo kan baru pertama kali jatuh cinta, jadi gue takut kalau lo langsung patah hati begitu tau hal ini. Gue... juga sempat mikir buat enggak cerita soal ini ke elo. Tapi gue Cuma mau cerita kebenarannya aja, gue gak mau nutup-nutupin” jelas Aila.
“I see, thank’s ya Aila” ucap Cici, ia memutuskan pembicaraan.
Speechless.
Cici tersenyum simpul , cukup terkejut dengan semua cerita Aila.
“Ya, lo salah Aila”
Ternyata cinta sesakit ini saat kita tak bisa menggapainya. Setidaknya itu yang bisa Cici tangkap. sekelibat bayangan kejadia beberapa tahun silam berputar dikepala Cici. Cici tidak bisa menangkapnya lebih jelas
Ia harus tidur sekarang!

שׂשׂשׂ
Diposting oleh Unknown di 21.30

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod