skip to main | skip to sidebar

About me

Unknown
Lihat profil lengkapku

Subscribe To

Postingan
    Atom
Postingan
Semua Komentar
    Atom
Semua Komentar

Archivo del blog

  • ▼ 2014 (9)
    • ▼ Juli (3)
      • loving you was red {bab 6}
      • loving you was red {bab 5}
      • loving you was red {bab 4}
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (4)

Followers

chideph onyoon

Jumat, 11 Juli 2014

loving you was red {bab 6}

Cinta itu bentuk suatu emosi          
Tapi aku gak tau bagaimana cara mengendalikan emosi
Dan sejak Aila menceritakan semuanya pada Afriza, terciptalah benteng yang membatasi Cici dan Afriza. Keduanya tidak pernah bertegur sapa lagi. Dan sekarang, hanya satu yang Cici inginkan.
Afriza tidak membencinya.
Tapi, sepertinya harapan Cici yang ini, tidak akan berjalan lancar. Ia memastikanya sekali lagi, saat kebetulan ia da Afriza berpapasan. Afriza menatapnya dengan tatapan acuh, sorot matanya tidak pernah dilihat Cici sebelumnya, tatapan yang sangan tajam.
Mungkin tatapan jijik?
“Oh my God! Apa segitu menjijikkannya kah gua sampai dia gak mau senyum sama sekali?!”
“Cici, awas!!!”
Cici tersentak, hampir saja ia terjatuh! Kalau saja tidak ada seseorang yang meraih bahunya.
“Lo kenapa, Ci?”
Cici menoleh, Ari rupanya. Ia melepaskan dirinya.
“Oh, gak apa-apa kok!” jawab Cici.
Ari memandang perempuan dihadapannya itu dengan tatapan tidak yakin.
“Swear deh!” Cici mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya, untuk meyakinkan Ari.
“Bener?”
Cici mengangguk.
“Bagus deh” ucap Airi, “Tapi bener gak apa-apa?”
Cici mengangguk lagi.
“I’m well...”
“Oke kalau begi—“
“Elu ngapain ada didaerah anak IPA?” potong Cici.
“Nyariin Aila, dia dimana ya?”
“Tadi sih kalau gak salah lihat, dia ke perpus”
Ari mengangguk.
“Makasih ya, Ci!” ucap Ari kegirangan.
Cici ikut senang melihat Ari yang terlihat senang dan bersemangat. Laki-laki itu memang benar-benar baik. Cici bersyukur Aila punya pacar yang menyayanginya sepenuh hati. Setidaknya, sangat berguna untuk Cici, agar Afriza tidak terlalu dekat dengan Aila.
Sementara itu, Ari masuk kedalam perpustakaan dan tampak mencari sosok Aila di setiap kubikel. Akhirnya ia berhasil menemukan Aila, yang sedang berbincang dengan Fia, dan—
“Rico?”
Ia mengurungkan niatnya dan beranjak pergi dari perpustakaan.
שׂשׂשׂ
Dinding antara Cici dan Afriza makin terlihat, apalagi saat ujian semester 2 ini tiba. Mereka semakin terlihat seperti orang asing. Sampai ujian berakhirpun, Afriza tetap dingin.
“Sangat dingin”
“Gak betah ya dicuekin?” goda Fia.
Cici nyengir kuda, mereka keluar dari kelas.
“Siapa yang gak betah coba?!” Cici sewot.
“You have to move on, Ci!”
“Kalau move on segampang boker di celana sih, udah gua lakuin dari dulu!”
Fia tertawa mendengar banyolan Cici.
“Ya... ya... gue paham kok soal luka di hati lo itu”
“Jangan sok puitis deh”
Fia tertawa lagi.
“Coba ya Fi, kalau aja Aila gak pernah cerita-cerita sama Afri soal gua suka sama dia! Gak bakalan begini nih!” sesal Cici.
“Jadi... lo tetep mau jadi secret admirer gitu?”
Cici mengangguk.
“Dan suka sama dia diam-daiam?”
Cici mengangguk lagi.
“Gila lo! Timpal Fia. “Kalau begitu, gimana caranya dia bakalan respek elo? Kan dia gak tau kalau lo suka sama dia selama ini!”
Cici merangkil fia, ia meletakkan bibirnya didekat telinga Fia seraya berbisik.
“Lihat sekarang, lebih parah kan dari gak di respek? Gua di cuekin habis-habisan!”
Fia mendorong dirinya jauh-jauh dari Cici, memandang sahabatnya itu sambil menggeleng. Tatapan mata Cici menusuk, seperti menahan rasa kesal, rasa kesal yang dalam.
“Wajah lo serem!” tegur Fia.
Cici mengerutkan dahinya.
“Serem? Kenapa?”
“Gue tau elo kesel banget, Ci. Ya... bener juga sih kata-kata lo, parahan yang sekarang!”
“Bener kan?”
Cici menuruni anak tangga, disusul fia dibelakangnya.
“Aila masih dikelas ya?” tanya Cici.
“Iya, tadi kan dia nyuruh kita pergi duluan”
Cici menghela napas pelan.
“Fia!”
Fia menoleh, “Apa?”
“Mm... mungkin gak?”
Fia menggeleng tak paham, “Apanya?”
“Mungkin gak kalau orang yang disukai sama Afri itu—“
“Siapa?”
“—Aila?”
Fia hampir terjatuh kalau saja ia tidak bisa menahan bobot tubuhnya sendiri saat menuruni tangga. Cici tak kalah terkejutnya  melihat Fia yang nyaris terjatuh tersandung anak tangga.
“Kenapa lo?” tanya Cici.
“Gue kaget tau!”
“Hahaha... iya deh, maaf udah bikin kaget”
“Kok elo bisa ngomong kayak begitu sih?”
Keduanya berjalan sejajar.
“Kok elo bisa ngomong kayak begiu sih?” ulang Fia.
Cici tersenyum simpul.
“Firasat gua cukup kuat, Fiaa!!”
“Jangan Cuma ngandalin firasat, lo juga harus buktiin kebenarannya juga!”
“Ya... selain itu, gua juga bisa baca bahasa mata Afriza pas lagi ngobrol sama Aila!” Cici menarik menarik napas panjang. “Dan dari matanya, mengisyaratkan kalau dia cinta mati sama Aila! Dan dia pengen banget dapetin Aila” jelas Cici.
“Well... temen gua udah alih profesi jadi paranormal nih?” goda Fia.
“Gua seriusan!”
“Bahasa lo itu, lho! Masa’ menginginkan segala sih?”
Cici tertawa, “Lho? Afri itu kan bule tulen, bule itu kalau suka sama orang, punya ambisi buat dapetin orang itu!”
Fia menggeleng, ia mempercepat langkahnya dan berhenti dihadapan Cici. Cici ikut menghentikan langkahnya.
“Kenapa?”
“Whatever you say, you have to move on now, oke?” tegas Fia.
Cici tertegun, namun mengangguk juga.
“Ya... gua juga lagi nyoba move one, dari dulu malah!” Cici tertawa, namun tawanya terdengar parau.
“Nih orang bener-bener patah hati!” pikir Fia.
“Oke, I see” Fia menghela napas, “You need a hug?”
Cici menggeleng, namun tetap saja sahabatnya ini memeluknya. Cici memang tampak kuat, namun sebenarnya ia amat rapuh.
“Gua bakal mati-matian menata hati nih pas liburan” ujar Cici.
“Bagus dong, mumpung liburan, dan lo gak bakalan ketemu sama Mr. Grey itu”
“Si mata abu-abu?”
Fia mengangguk.
“Emang lo mau liburan kemana, Ci?”
“Entahlah, ke bulan kali!” jawab Cici asal.
שׂשׂשׂ
Cici menatap raportnya, nilai semester 2-nya meningkat dari semester 1. Ternyata patah hati ada untungnya juga, jadi sama sekali buta akan masalah cinta!
“Ranking berapa lo?” tanya Rico.
Cici baru menoleh, namun Rico terlalu gesit! Dia sudah merebut raport Cici.
“Wih!! Ranking 3 cuy!!” Rico kegirangan.
“Apaan sih lo! Sini balikin!!” pinta Cici dengan paksa.
Rico memasang muka cemberut, lalu mengembalikan raport Cici.
“Jangan marah dong, Ci...”
Cici tertawa, “Lebay lo! Masa’ gitu aja marah”
“Bagus!” ucap Rico girang, “Gitu dong, kalau lo marah-marah, nanti Afriza gak bakalan naksir elo!” goda Rico.
Cici tersenyum kecut, tidak menanggapi ucapan rico. Sebenarnya ia khawatir, khawatir Afriza akan mendengar ucapan Rico barusan.
“Elo ranking berapa? Cici bertanya balik.
“Gue?”
Cici mengangguk.
“Ya... lumayan lah, ranking 6” jawab Rico bangga.
“Itu mah bukan lumayan lagi! Tapi bagus!” Aila ikut menimpal.
“Ah elu! Ikut-ikutan aja” Rico berpura-pura kesal. Namun Cici dan Aila hanya tertawa melihat tingkah Rico.
“Gue tau lo ranking sati, La” ujar Rico sok pesimis.
“Ya... gak gitu juga, Rico” ucap Aila.
Iya, paham. Congratz ya!” Rico mengulurkan tangan.
Aila meraih tangan itu dan bersalaman.
“Selamat juga udah masuk 10 besar” ucap Aila.
“Iya” Rico mesem-mesem sendiri.
“Ehem!” Cici sengaja berdehem. Kedua orang tadi melirik ke arah Cici, dan baru ingat kalau ia masih ada disana. Keduanya jadi salah tingkah sendiri.
“Sesama mantan, gak boleh akrab!” Cici sok bijak.
“Lha? Kenapa?” tanya keduanya, nyaris bersamaan.  Keduanya jadi malu sendiri.
Cici menggeleng.
“Tuh, gua bilang juga jangan terlalu akrab! Sampai-sampai ngomongnya barengan gitu, lho!” goda Cici.
“Kenapa?” tanya Rico, kali ini Aila diam saja, takut berbarengan lagi.
“Masih tanya?”
Rico tertegun, mukanya sedikit memerah, “Oh, enggak kok! Gue... paham”
“Kenapa sih?” kini Aila yang angkat bicara.
“Lo masih nanya, La?” tanya Cici terheran.
“Nanti kalau terlalu akrab, takut CLBK gitu tuh!” jelas Rico dengan santainya, rona merah di mukanya sudah hilang.
Sinyal di otak Aila mulai bekerja, semburat merah muncul di wajah Aila. Sekarang gantian Aila yang merona malu.
“Aila? Muka lo kenapa? Merah gitu warnanya” goda Rico.
“Emang iya?” tanya Aila sedikit panik.
“Iya, salting ya?” timpal Cici ikut menggoda.
Rico tersenyum, ia mencoba membalikkan keadaan.
“Elu tau rankingnya Afri gak?” tanya Rico.
Cici tak tertarik membahasnya lebih jauh.
“Tau, ranking 18 kan?” tebak Cici asal-asalan.
“Wah! Elo udah nanya ke dia?” tanya Rico tak percaya.
“Serius? Udah nanya?” Aila membeo.
Cici sendiri terkejut, ia menggeleng.
“Enggak, ngapai nanya-nanya?”
“Terus dapet angka 18 dari mana?” tanya Rico.
“Asal”
“Asal?”
“Wah... jangan-jangan lo bener-bener ada chemistry sama Afri! Kereeen...” Rico menoleh kearah Afriza dan memanggilnya, “Afri!!! Si Cici—“
Cici tak mempedulikan Rico, maupun Aila, apalagi Afriza. Ia meraih tasnya dan pergi meninggalkan kelas.
שׂשׂשׂ
“Sial!” gerutu Cici.
Ia melempar tubuhnya keatas kasurnya yang empuk. Ia tidak bisa mengendalikan emosi itu, emosi yang berwujud cinta.
“Benarkah gua jatuh cinta sama seorang Afriza Leonardi Grey? Cowok blasteran bermata abu-abu. Ternyata... jatuh cinta itugak seindah di film-film atau novel picisan!”
Pikirannya dipenuhi Afriza sekarang.
“Pergi dong!!!” gerutu Cici.
Bayangan itu belum hilang.
“Pergiii!!!” jerit Cici.
“Siapa yang disuruh pegi?”
Cici menoleh kearah pintu. Bima kakaknya, sedang menyembulkan kepalanya masuk.
“Lo kenapa, Ci?”
Cici mmenggeleng, ia pun beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Bima. Kakaknya itu juga membuka lebar pintu kamar Cici.
“Are you okay?”
Cici mengangguk.
“Iya, baik banget kok!”

שׂשׂשׂ
Diposting oleh Unknown di 21.23 0 komentar

Kamis, 10 Juli 2014

loving you was red {bab 5}

Aku mungkin memang menolak kehadiran Cinta
Tapi setidaknya aku senang orang lain bisa merasakan Cinta
                Pagi itu, mendung. Cici malas beranjak dari tempat tidurnya yang empuk. aApa lagi ini hari libur, ia makin malas saja.
“Cici! Banguuun!!!”
Mama sudah berada didepan kamar Cici. Mau tidak mau Cici beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu kamarnya.
“Kenapa, ma?”
“Bangun sayang, udah jam berapa sekarang? Jangan mentang-mentang lagi liburan kamu bisa bangun sesiang-siangnnya” tegur mamanya.
Cici mengangguk.
“Lagian, sebentar lagi ada tamu!”
“Siapa?”
“Teman-teman kakak kamu”
“Ya... kan udah biasa!” protes Cici.
“Setidaknya nanti kamu temui mereka”
Cici mengangguk, mengiyakan.
“Oh, iya! Bukannya kamu mau perpisahan sama keluarganya pak Arko?” tanya mama.
Sekarang Cici baru ingat agendanya hari ini, ia langsung mengambil handuknya dan bergegas masuk ke kamar mandi. Ia tidak mau kehilangan momen ini. Keluarga pak Arko akan pindah rumah, itu berarti salah satu teman baiknya juga pindah.
Fathur...
שׂשׂשׂ
Cici keluar dari kamarnya, dan bergegas keluar rumah, ia melirik sebentar kearah teman-teman kakaknya.
“Cici!” panggil Bima, kakak Cici.
Cici menoleh, kakaknya itu sedang duduk berdua dengan kak Dhira, pacarnya.
“Salaman dulu dong sama temen-temen gue!” tegur Bima.
Cici menurut, ia menyalami kelima teman-teman kakaknya, termasuk Dhira.
“Mau kemana, Ci?” tanya Dhira, ramah.
“Mau perpisahan, nih!” jawab Cici, girang.
Bima dan Dhira saling berpandangan, pandangan yang penuh tanya.
“Kok perpisahan seneng banget?” tanya Dhira heran.
“Tau nih!” Bima mengekor.
Cici menggaruk-garuk kepalanya, yang sebenarnya sama sekali tidak gatal.
“Terus harus sedih?” tanya Cici.
“Ya... enggak juga sih” jawab Dhira.
“Ya sudah sana! Nanti gue nyusul deh kalau mereka mau berangkat” ujar Bima.
Cici mengangguk dan berpamitan. Saat keluar dari perkarangan rumahnya, ia melirik kearah Bima dan Dhira yang sudah asik dengan dunianya masing-masing, terlihat bahagia. Ia hanya berharap semoga suatu saat Dhira menjadi kakak iparnya sungguhan.
שׂשׂשׂ
“Nah... ini nih yang ditunggu!” ucap Dion.
Cici terkejut karena semua teman-temannya sudah berkumpul semua.
“Hai!” sapa Cici tanpa dosa, “Gua gak telat-telat banget kan?”
“Enggak juga” sindir Ria.
Cici melirik kearah Fathur, Fathur tengah menatapnya.
“Kok lo pindah sih? Mentang-mentang udah lilus SD, ngelanjutinnya di Bogor!” protes Cici.
“Ini kan keputusan orang tua gue” jelas Fathur.
“Mau nyusul Achi tuh!” goda Vindy.
“Iya, sama-sama sekolah di Bogor gitu, biar gak LDR lagi!” tambah Ari.
Fathur menggeleng, “Ada-ada aja lo pada!”
“Iya kan? Mau sekolah di SMP yang sama kayak Achi” Dion ikut menambahkan.
Keenamnya tertawa.
“Nanti gue juga mau ke Bogor, ah! Gue mau nerusin SMP disana bareng Fathur!” ujar Vindy dengan semangat.
“Yakin?” tanya Fathur.
Vindy malah tertawa, lalu menoleh kearah Cici.
“Lo mau ikut Fathur gak, Ci?”
“Gua?” tanya Cici.
Vindy mengangguk.
“Ngapain? Gua kan belum lulus SD. Masih kelas 5, calon kelas 6. Gua gak mau kehilangan saat-saat membahagiakan dikelas akhir”
“Ikut aja yuk!” ajak Fathur iseng.
Cici tertawa.
“Makasih deh...” ucapnya polos.
Setelah bincang-bincang cukup lama, akhirnya Fathur dan keluarganya harus pegi. Barang-barang sudah lebih dulu diangkut kemarin, dan sisanya baru tadi pagi.
“Hati-hati ya, bung!” Dion menepuk pundak Fathur.
“Iya, jaga diri disana!” tambah Ari.
“Jangan macam-macam ya disana!” Vindy ikut-ikutan memukul pundak Fathur.
“Mm... lo—“ suara Ria terdengar terputus-putus karena tangisan, “—lo baik... lo baik-baik aja ya!”
“Iya, jangan nangis gitu dong Ria” Fathur memeluk Ria, pelukan persahabatan.
Vindy, Ari dan Dion juga dipeluk bergantian. Saat dihadapan Cici, Fathur hanya mengacak-acak rambutnya. Ia amat tau, Cici tidak suka dipeluk, apalagi dicium.
“Jaga diri ya, Ci!”
Cici tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.
“Siip! Lo juga ya!”
Keduanya saling melempar senyum. Fathur menghampiri Ari dan membisikan sesuatu padanya. Ari mengangguk. Fathur melambaikan tangan pada kelimanya.
“Bye!!!”
Ia masuk kedalam mobil, mobil yang berjalan menjauh. Kelimanya termasuk Cici, hanya bisa menatapnya.

שׂשׂשׂ
Diposting oleh Unknown di 21.33 0 komentar

loving you was red {bab 4}

Cinta memang menyakitkan
Tidak sedikit yang menderita karenanya
                Cici mengerjapkan matanya, tersadar dari mimpinya. Membuka matanya dan mulai beranjak dari posisinya.
                “Mimpi masa kecil lagi...” dengusnya.
Ia melirik ke arah jam weker yang bertengger dimeja belajarnya. Sudah jam 5 sore,ia bisa gila kalau melanjutkan tidurnya saat ini. Iapun meraih ponselnya, ada sebuah pesan masuk.
“Dari Aila...”

Gue bisa bantuin lo, gue minta nomornya Afri dong! :D

Cici mengirimkan sebuah nomor sesuai permintaan Aila, nomor ponsel Afriza. Cici sendiri mendapatkannya dari Fia, dulu.
Dulu, Cici pernah sempat dekat dengan Afriza, waktu kelas 3 SMP. Namun saat SMA, mereka seperti orang asing. Tidak ada obrolan, atau saling mengirim SMS. Cici sendiri tidak tahu sebabnya.
Orang asing! Ya, Cici merasa begitu. Mungkin Afriza tipe-tipe orang yang gampang melupakan orang lain. Yang diingatnya, Cuma segelintir orang yang dianggapnya penting. Dan Cici merasa begitu, merasa tidak penting bagi Afriza.
“Sakit ya jadi orang gak penting” ucapnya.
Ia meletakkan ponselnya kembali, beranjak dari tempat duduknya dan meraih handuk putih, dan berjalan masuk ke kamar mandi.
שׂשׂשׂ
“Pagi!” sapa Afriza.
Cici tak bergeming, tidak menyadari Afriza yang berada disampingnya, ia tetap menaiki anak tangga.
“Meili?”
Cici terkejut, Afriza sudah berada dihadapannya dan menghalangi jalannya.
“LO bengong Mei? Kalau lagi bengong jangan naik tangga, kalau jatuh kan berabe!” tegas Afriza, dari sorot matanya yang tajam, ada siratan kepedulian disana.
“Gua gak bengong, elu ngagetin gua aja!”
“Gue udah manggil elo dari tadi, tapi elo gak nengok sama sekali”
“Oh...” Cici mengannguk, keduanya saling bertatapan, Cici cukup gugup melihat tatapan Afriza, ia benar-benar terhipnotis! Apa ia benar-benar jatuh cinta sekarang?
“Boleh minggir?” tanya Cici, setelah berhasil menguasai dirinya kembali.
Afriza sendiri terlihat terkejut dengan perbuatannya sendiri, ia pun bergeser beberapa langkah dan membiarkan Cici lewat. Ia juga mensejajarkan langkahnya bersamaan denga Cici.
“Pagi-pagi udah bengong aja” ujar Afriza.
Cici nyengir kuda, “Gua gak bengong kok!”
Oke, dia merasa lebih baik hari ini, Cici merasa lebih beruntung dari hari kemarin.
“Pagi-pagi udah disapa orang ganteng”
Cici senyum-senyum sendiri.
“Meili!” panggil Afriza.
“Ya?” balas Cici seramah mungkin.
“Ada PR gak?”
Cici menggeleng, “Gak ada”
“Bener?”
Cici hanya mengangguk. Dan sampailah keduanya didepan kelas. Cici masuk kedalam kelas lebih dahulu, disusul dengan Afriza dibelakangnya.
“Cici!!!” seru Aila.
“Apa?” Cici berjalan menuju tempat duduknya.
“Kok bisa barengan gitu?” tanya Aila penasaran.
Cici tersenyum simpul, merasa bangga. “Kebetulan aja sih..”
“Gak mungkin!” sangkal Aila.
“Terserah elo deh, La”
Aila tersenyum, mencoba menggoda Cici.
“Oh, iya! Lo apain nomornya Afri?” bisik Cici.
“Gue SMS-in lah!” jawab Aila dengan bangganya. “Dia juga nanya gue dapet nomor dia dari siapa, gue jawab aja dari elo”
Cici hanya mengangguk.
“Terus dia nelpon gue, Ci”
“Terus?” Cici mulai tertarik dengan cerita Aila.
Akhirnya Aila menceritakan kejadian kemarin pada Cici. Fia yang baru datang juga ikut nimbrung. Ketiganya terlihat asyik seperti ibu-ibu arisan.
“Wah... deket nih!” goda Cici.
“Iya, kayaknya seru tuh! Coba gue juga begitu” tambah Fia, girang.
Aila cengar-cengir sendiri.
“Yah... ini kan juga rencana nyomblangin si Cici nih!” Aila mencubit pipi Cici.
“Lepasin dong!” rengek Cici.
Ketiganya tertawa, namun dalam hati Cici sedikit menangis. Ia tidak yakin kalau dirinya sedang jatuh cinta. Tapi ia sendiri tidak bisa memungkiri, setiap mendengar nama laki-laki bermata abu-abu itu, hatinya tersentil.
Tapi lagi-lagi ia takut, atau khawatir. Dengan perasaan seperti ini, apa ia bisa sehari saja tidak melihat Afriza?
Cinta memang aneh...
שׂשׂשׂ
Hari ini, Aila mengajak kerumah sakit. Dea, teman sekelas mereka sakit. Cici tidak ada acara apapun, jadi ia mengiyakan. Sementara Fia tidak bisa karena ada urusan keluarga.
Cici berdandan sekenanya, ia mengepang rambutnya dibagia pinggir dan mengaitkannya dengan kepangan rambut lainnya disisi lain. Ia sudah janjian dengan Aila, ia menunggu diujung gang rumah Aila.
“Tiiiin!!!” suara klakson mobil membuyarkan lamunan Cici.
“Cici! Udah lama?” tanya Aila begitu membuka pintu mobilnya.
Cici menggeleng, “Enggak kok”
“Ayo masuk!”
Cici mengiyakan, ia masuk kedalam mobil dan duduk disamping Aila.
“Ci, dapet salam!” serbu Aila, girang.
Dahi Cici berkerut , ia mengaitkan rambutnya yang sedikit tergeraik kebelakang telinganya, takut salah dengar.
“Apa?” tanya Cici.
“Lo dapet salam”
“Dari?”
“Dari—“ Aila menggantungkan kalimatnya, menggoda Cici sedikit.
“Siapa?” tanya Cici.
“—Afriza” jawab Aila.
Cici tertawa, tidak percaya, “Ngaco lo!”
Mobil Aila meninggalkan tempat tadi.
“Ya enggak lah!” ucap aila, ia merogoh tas tangannya dan meraih ponselnya. Setelah menutak-atik ponselnya, ia menyerahkannya pada Cici.
Cici melihat apa yang tertera disana, sebuah pesan singkat dari Afriza.

Oh... Salamin ya ke DIA, have fun!

                “Dia yang dimaksud itu elo, Ci!” jelas Aila.
“Elo duluan kan yan nyalamin dari gua?” Cici menatap Aila tajam
                Aila menggeleng, “Enggak”
“Terus?”
“Elo liat aja deh SMS sebelumnya”
Cici mengiyakan, ia melihat semua pesan antara keduanya, membacanya dengan penuh minat.
“Ya kan?” tanya Aila.
Cici menyerahkan kembali ponsel milik Aila, “Kayaknya makin oke, nih!” godanya.
“Oke apanya?”
“Makin deket aja sama Afri”
Aila tersenyum kecut, berhasil membaca maksud dari sahabatnya ini, “dia cemburu!!” batinnya.
“Lu baca SMS semuanya?”
Cici mengangguk.
“Gak semuanya juga sih, La. Yang kebaca aja sama gua” jawab Cici dengan ramahnya.
“Mm... gue lumayan deket sih sama dia, namanya juga udah sekelas sama dia dari kelas 2 SMP, masa’ sekarang gak deket. Udah 4 tahun gue sekelas sama dia, Ci!” jelas Aila.
Cici menelan ludah, “Yah... gua 2 tahun sekelas, gak deket-deket!”
“Iri ya??” goda Aila.
Cici menggeleng. Aila menyodorkan ponselnya lagi kearah Cici, Cici melihat notifikasi pesan masuk dari Ari.
“Lihat nih! Gue udah punya Ari kok, gak perlu jealous sama gue gitu, Ci”
Cici tersenyum, “Gua gak jealous kok, gua tau elo berteman baik sama Afriza, lebih baik daripada gua”
“Tuh kan jealous lagi!”
Cici mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk tanda piece dengan kedua tangannya.
“Enggak kok, gua gak jealous, La”
“Gue sama dia Cuma bersahabat aja kok” jelas Aila.
Cici mengangguk, “Paham kok”
שׂשׂשׂ
“Lo kok gak bilang kalau ada Ari?” tanya Cici.
Ari terlihat di loby rumah sakit, bersama Rico, Rakha, pacar Dea, Astrid dan Karin. Ari langsung berdiri menyambut Cici dan Aila.
“Lha? Gue kira lo udah liat SMS dari Ari!” tuduh Aila.
“Lo Cuma ngasih liat notifikasinya aja kok!” bela Cici.
Aila cengengesan.
שׂשׂשׂ
“Makasih udah jengukin gue ya!” ucap Dea.
“Ini kan bentuk perhatian kita” ujar Rakha.
“Perhatian kita atau perhatian lo doang nih?” ledek Astrid.
Gelak tawa terdengar diruangan Dea, keceriaan mengisi ruangan tempat Dea berada. Cici melirik kesamping, Ari tepat berada disampingnya.
“Ari!” panggil Cici sambil menyikutnya.
“Apa?” tanya Ari.
“Jagain Aila ya!” Cici menatap Ari, tajam.
“Tentu”
שׂשׂשׂ
Cici memasuki kelas, masih sepi. Namun ada yang menarik perhatiannya. Afriza sudah berada dalam kelas! Ia tampak serius dengan buku pelajarannya.
“Iya ya? Ujian tinggal seminggu lagi..”
Ia duduk dikursinya, memosisikan dirinya untuk melihar Afriza dari belakang kelas.
“Afri!” panggil Cici.
Afriza menoleh dengan senyum khasnya yang menawan.
“Apa?”
“Semangat banget lo?” Cici basa basi.
“Iya nih, bentar lagi kan ujian”
Cici mengangguk setuju, Afriza kembali menggeluti bukunya, dan Cici terpaksa membenahi posisi duduknya lagi.
“Meili!” kali ini Afriza yang memanggil.
“Dia manggil gua!!”
Cici girang dan menoleh, “Ya?”
“Lo belajar juga dong! Jangan matematikanya aja yang dijagoin, pelajaran lain juga!”
“Maksud lo... Biologi?” sindir Cici.
Biologi, pelajaran favorit Afriza. Dan sepanjang pengetahuan Cici mengenai si mata biru ini, nilai mata pelajaran Biologi Afriza tidak pernah kurang dari angka 8,5.
“Iya, itu juga termasuk, tapi pelajaran yang lain juga”
“Iya deh...”
Cici membenahi posisi duduknya lagi, sekaligus membenahi hatinya. Getaran aneh itu muncul lagi! Dan Cici merasa risih dengan semua itu.
“Awal yang baik”
Ya, mungkin ini terakhir kalinya Cici dan Afriza berakrab-akrab ria.
שׂשׂשׂ
Ponsel Cici terus berdering, entah sudah kesekian kalinya. Ia berlari masuk ke kamarnya dan meraih ponselnya.
“Aila?”
“Halo? Kenapa, La?”
“Malam” sapa Aila.
“Malam juga” balas Cici, “Kenapa nih? Tiba-tiba nelpon gini?”
“Ci, tadi gue ketemu Afri di Gramed!” ujar Aila bersemangat.
Sementara Cici harus tersenyum kecut, untunglah ini pembicaraan lewat telepon. Aila pasti bisa membaca air mukanya yang saat ini terlihat jealous.
“Iya? Terus? Lo ngobrol-ngobrol?”  Cici tak kalah semangatnya dengan Aila.
Aila yang berada diseberang sana tersenyum sambil memainkan ujung-ujung rambutnya. Ia mencoba menggoda Cici melalui ceritanya.
“Iya, kita ngobrol-ngobrol! Dan gue... langsung nge-judge dia dengan kata-kata yang— , well! Mungkin bisa bikin dia sadar”
“Maksud lo?”
“Gue bilang—“
שׂשׂשׂ
“Elu gak peka banget ya!” tembak Aila tanpa pikir panjang.
Afriza mengerutkan dahinya, tidak mengerti maksud Aila yang tiba-tiba men-judgenyan dengan kata ‘TIDAK PEKA’. Tidak peka terhadap apa?
“Gak peka apanya?”
“Iya, ada yang suka sama elo!” tegas Aila, “Sayang malah!”
Afriza menatap Aila tak percaya.
“Masa’ sih?”
“Lo gak tau?” Aila menatapnya dengan tatapan tajam.
“Enggak” jawab Afriza, “Siapa?”
“Cici!”
Afriza tertegun.
“Cici? Mm... Meili?”
“Iya, Meili! Meili Farashi”
Afriza merapihkan kerah kemejanya lalu mendehem, mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak buku.
“Lo jangan ngaco!” tegur Afriza.
“Lo gak pernah denger ini sebelumnya?” tanya Aila.
Afriza ragu, tapi mengangguk juga.
“Gue pernah denger sih, selentingan si Rico. I thought he played a joke on me” jelasnya.
“But it’s the true one!”
“Gak mungkin, dari gelagat dia, dia nganggep gue orang biasa” bela Afriza.
“Ya... dia emang pinter nyembunyiin perasaannya, walau kadang kebaca juga”
Pandangan Afriza kembali pada Aila yang ada dihadapannya, “Jadi ini Cuma hasil pengelihatan elo aja?”
Aila menggeleng.
“Dia sayang sama elo dari kelas 2 SMP, lho!” tambah Aila.
Afriza dibuat terkejut lagi.
“Dia udah suka sama gue lama banget dong?”
Aila mengangguk.
“Masa’ sih, La?” Afriza masih tidak bisa percaya. “Gue bener-bener gak percaya kalu dia udah suka sama gue hampir tiga tahun?!”
“Dan elo gak sadar sampai saat ini?”
“Enggak, sama sekali!”
Aila mendesah pelan.
“Nah, makanya nih gue kasih tau ke elo,biar semuanya jelas. Ya... walaupun bukan Cici sendiri yang nyampein semuanya, tapi gue udah cukup kan buatb ngewakilin dia?” ujar Aila, bangga dengan dirinya.
Afriza terbatuk, untuk menyegarkan pikirannya.
“Tapi sayang ya...”
“Sayang kenapa?” tanya Aila.
“Gue suka sama orang lain” jawab Afriza.
Sekarang Aila-lah yang terkejut.
“Lo suka sama orang lain?!”
Afriza mengangguk.
“Siapa?”
Afriza tersenyum jahil, “Ada deh!”
“Tuh kaan!!!” protes Aila, “Siapa? Anak kelas?”
Afriza mengangguk, “Ya... kira-kira begitu lah”
“Siapa sih?” Aila makin penasaran.
“Nanti elo juga bakalan tau siapa orangnya”
“Kapan?”
Afriza mengangkat kedua bahunya, Entahlah, yang jelas bukan sekarang. Nanti kalau udah waktunya gue kasih tau ke elo kok!” janji Afriza.
שׂשׂשׂ
Cici speechless, tidak bisa berkomentar apapun saat ini. Ia masih terkejut dengan cerita Aila. Cerita yang cukup menggelitik rasa penasarannya
“Siapa ya?” tanya Aila.
“Wah... elu penasaran, La?” goda Cici.
“Lha? Emang elo gak penasaran?” balas Aila.
“Ya... lumayan”
“Lumayan apa banget?”
Cici tertawa, Aila ikut tertawa diseberang sana.
“Yah... pupus sebelum berkembang dong!” ujar Cici dengan nada putus asa, namun disusul dengan tawa kembali.
“Jangan gitu dong! Siapa tau orang itu elo!” asumsi Aila.
Cici menggeleng.
“Jangan bikin gua berharap! Kalau sudah begini, tinggal tunggu tanggal kadaluwarsanya aja” ujarnya.
“Jangan pupus harapan Cici sayang... nanti gue tanyain lagi deh!”
“Terserah elo aja deh! Eh, gua tutup dulu ya! Mama gua udah menggil-manggil nama gua nih!” pamit Cici.
Aila tertawa, “Lo kira jin gitu? Dipangil-panggil”
“Hahaha...” Cici tertawa garing.
“Lo gak usah ngeles deh, gue tau habis ini lo bakalan naik ke atas kasur, terus ngambil guling lo dan—“
“Nangis?” potong Cici.
“Yup!”
“Heei! Emang gua selemah dan secengeng itu?!”
“Bukan maksudnya begitu, Ci”
“Terus?” tanya Cici, “Gua gak apa-apa kok, La!”
“Dan lo bakal nangis habis ini”
“Shut up,La!” bentak Cici, “I’m well...” suara Cici langsung berubah kembali.
Terdengar suara desahan pelan dari seberang sana.
“Oke kalau begitu, gue Cuma khawatir aja sama elo, Ci! Elo kan baru pertama kali jatuh cinta, jadi gue takut kalau lo langsung patah hati begitu tau hal ini. Gue... juga sempat mikir buat enggak cerita soal ini ke elo. Tapi gue Cuma mau cerita kebenarannya aja, gue gak mau nutup-nutupin” jelas Aila.
“I see, thank’s ya Aila” ucap Cici, ia memutuskan pembicaraan.
Speechless.
Cici tersenyum simpul , cukup terkejut dengan semua cerita Aila.
“Ya, lo salah Aila”
Ternyata cinta sesakit ini saat kita tak bisa menggapainya. Setidaknya itu yang bisa Cici tangkap. sekelibat bayangan kejadia beberapa tahun silam berputar dikepala Cici. Cici tidak bisa menangkapnya lebih jelas
Ia harus tidur sekarang!

שׂשׂשׂ
Diposting oleh Unknown di 21.30 0 komentar

Kamis, 05 Juni 2014

loving you was red {bab 3}


Kalau ada orang yang menanyakan siapa orang yang memunafikkan cinta
Itu adalah AKU
                “Baju lo gitu aja, Ci?” tanya Vindy.
                Cici mengangguk, lalu memerhatikan baju yang dipakainya. Untuk kesekian kalinya, ia merasa tidak ada yang salah dengan itu.
“Simple” komentar Ria.
                “Emangnya kita mau kemana cakep-cakep?”
                “Setidaknya gitu Ci...” ucap Vindy.
                “Gak akan ada yang komentar kok! Ya... gua juga yakin gak bakal ada yang naksir kalau gua dandan cantik-cantik” ujar Cici cuek.

“Dasar...” dengus Dion.
“Tapi cantik kok!” puji Fathur.
Cici menoleh, begitu juga dengan yang lainnya.
“Cantik?” tanya Ari tak yakin, “Tadi lu bilang cantik ya?”
Fathur mengangguk, “Iya, simple, tapi cantik kok!”
Yang dipuji cuma nyengir kuda, lalu berkomentar pedas, “Lo gak usah muji gua deh, gak mempan tau”
“Tapi emang cantik sih” sekarang ria mulai ikut-ikutan.
Cici menggeleng. Hari ini keenamnya mengadakan acara kecil-kecilan di sebuah food court yang ada di salah satu pusat perbelanjaan untuk merayakan hari ulang tahun Fathur.
“Well... happy birthday ya!” ucap Vindy,disusul dengan ucapan dari yang lainnya.
“Thank’s ya semua” ucap Fathur.
“Elo mau hadiah apa?” tanya Dion, diikuti tawa yang lainnya.
“Entah, gak usah dikasih hadiah juga gak apa, yang penting kita bisa kumpul begini” jawab Fathur.
Cici mengangguk, “Bagus deh”
Tawa kembali terdengar.
Fathur merayakan ulang tahunnya yang ke 13. Dan ia berfikir layaknya para ABG yang mentraktir teman-temannya saat ulang tahun.
“Fathur udah tua nih!” goda Vindy.
“Iya, jadi yang paling tua diantara kita” tambah Dion.
Fathur ikut tertawa, lalu melirik kearah Ria, “Lho? Bukannya bulan depanada yang berumur 13 juga ya?”
Ria menyadari kalau ia yang dimaksud, dan langsung memelototi Fathur.
“Yee... tapi kan gue gak jadi nenek-nenek! Itu namanya tahap pendewasaan” bela Ria.
“Iya, betul juga tuh!” tambah Dion.
“Berarti... gue udah dewasa dong?” tanya Fathur.
“Ya... kalau elo bisa berhenti dari hobi lo yang suka ngumpetin sendalnya Cici” ejek Vindy.
Keenamnya tertawa lagi.
“Iya, lo harus berhenti ngumpetin sendal gue!” tegas Cici.
“Anak kecil diem aja deh” ejek  Fathur.
Cici cemberut, Fathur dan yang lainnya tertawa.
“Cici... Cici...”
“Kayak bocah banget deh!” ujar Ari.
שׂשׂשׂ
Perjalanan pulang, merekapun berpisah. Kecuali Fathur, Ari dan Cici. Rumah mereka kebetulan satu arah.
“Kok pacar lo enggak kesini sih?” tanya Ari.
Orang yang dimaksud Ari tentu saja Achi, pacar Fathur yang saat ini tinggal di Bogor, dan Achi sendiri adalah sepupu dion.
“Dia gak bisa kesini” jawab Fathur.
“Terus kenapa lo gak kesana?”
“Ya... gue lagi mau ngumpul-ngumpul bareng kalian semua aja”
Fathur menoleh ke jok dibelakang, “Cici, diem aja?”
“Ngantuk” jawab Cici singkat.
“Kekenyangan?”
“Mungkin” jawab Cici sekenanya.
Ari ikut melirik kearah Cici yang duduk disampingnya, dari matanya memang menunjukkan kalau ia benar-benar mengantuk.
“Eh Ci, kalau elo ulang tahun, ajak Geo ya!” usul Fathur.
Cici tersentak kaget, begitu pila dengan Ari.
“Geo?”
“Iya, Geo!” jawab Fathur, “Gue penasaran sama cowok yang namanya Geo itu”
“Mm... gue juga penasaran nih! Nanti kenalin sama kita ya” tambah Ari.
Cici nyengir kuda, tokoh khayalan yang sempat ia jadikan super hero gara-gara pemainan konyol jujur-jujuran beberapa waktu lalu, kini menjadi malapetaka untuk Cici.
“Nih orang kenapa nanyain orang yang gak ada sih? Gua aja gak inget sama si Geo!” gerutu Cici.
“Iya deh, nanti gue bujuk”
“OKE!” ucap Fathur kegirangan.
Ari melirik kearah Cici, dari air mukanya, ia bisa tau apa yang difikirkan Cici saat ini, Ari bisa membaca gelagatnya.
“Geo—“ bisik Ari pelan.
Cici tersentak, ia memelototi Ari.
“—gak ada kan?” lanjut Fathur.
Cici mengangguk pelan, kemudian balik berbisik.
“Jangan bilang ke yang lain ya” pinta Cici.
“Kenapa lo gak jujur aja kalau lo lagi enggak  fall in love?”
“Nanti.. gua dikejar-kejar lagi! Gua kan gak suka!”
שׂשׂשׂ
Diposting oleh Unknown di 18.33 0 komentar

Selasa, 03 Juni 2014

loving you was red {bab 2}


Andai aku tak pernah mengenalmu
Mungkin sampai saat ini aku tak akan mengenal cinta
                Cici merapihkan rambutnya, memakai penjepit rambut kecil berwarna putih untuk kesan manisnya hari ini. Meraih tasnya dan segera meninggalkan rumah.
                “Cici!!” baru sampai gerbang sekolah, seseorang memanggil namanya. Cici menoleh, Rico rupanya.
                “Apa?” tanya Cici cuek.
                Rico berlari-lari kecil mengejar Cici.
“Bareng yuk ke kelas!” ajak Rico.
“Bareng?Ada angin apa nih?”
“Enggak ada apa-apa”
Cici melanjutkan langkahnya yang juga diikuti oleh Rico. Waktu berjalan begitu cepat, sekarang saja Cici sudah duduk dikelas 2 SMA.
“Ci, elu—“
Cici menoleh kesamping.
“Apa?”
“Elu suka sama Afriza ya?” tembak Rico.
Cici tersentak kaget. Afriza? Cowok itu! Cowok yang sudah berani mengusik hatinya selama tiga tahun ini. Cici menunjukkan ekspresi yang datar, namun ia tidak bisa menutupi rasa kesal dan keterkejutannya.
“Wah... beneran nih?” tambah Rico.
“Enggak, gua biasa aja”
Rico menggeleng, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Membukannya secara perlahan dan membuat Cici sedikit penasaran.
“Nih!” Rico menyodorkan kertas tadi. “Elo lihat nama-nama disini kan?”
Cici mengangguk.
“Dari daftar nama ini, kita bisa langsung tau kalau ini pasang-pasangan! Nama pertama aja Ari sama Aila”
“Terus?”
“Masih belum jelas?”
Cici menatap Rico dengan tatapan sinis, “Belum” jawabnya.
Rico menunjuk pada barisan ke 12, dan Cici terpaksa melihat apa yang ditunnjuk Rico. Apa yang dilihatnya kini cukup membuatnya terkejut. Dua buah nama, Afriza dan Cici.
“Eh, ini siapa yang nulis?” tanya Cici tak percaya.
“Entah, gue nemu kertas ini dibawah meja gue kemaren, pas mau pulang”
“Oh...”
Rico tersenyum jahil.
“Aah... sekarang ketewak deh kalau lo suka sama Afriza!”
“Elo jangan nge-judge gua gitu dong! Itu kan cuma kerjaan orang iseng aja”
“Cici... Cici... gue kenal elo gak sehari dua hari! Jadi gue tau persis gimana elu!”
“Terus?”
“Dari ekspresi lo, kebaca tau!”
“Kebaca apa?” Cici masih berusaha menyangkal.
“Kebaca kalau elo tuh beneran jatuh cinta sama Afriza”
Cici menggeleng pelan, berusaha untuk tetap tenang. Walaupun hatinya sedikit merasa risih.
“Tau gak”
“Apa lagi?”
“Afriza udah tau kok tentang kertas ini”
“Terus? Dia nganggep semua ini beneran? Dia nganggep gua suka sama dia gitu?” tebak Cici.
“Kayaknya sih gitu Ci!”
“Masa?”
“Iya”
Cici menggelengkan kepalanya, “Gawat nih kalau begini”
“Dia bilang gini nih—“ Rico mengambil aba-aba dan posisi seakan-akan ia adalah Afriza. “—Aah.. gak mungkin nih! Palingan juga kerjaan orang iseng!” Rico berdehem.
“Gitu, Ci!”
Cici tertawa, tidak terlalu menanggapinya. Keduanya sudah sampai didepan kelas. Cici masuk terlebih dahulu, disusul Rico.
“Ci!” panggil Rico.
“Apa?” tanya Cici.
“Akhirnya elo bisa jatuh cinta juga! Hahaha—“ bisik Rico.
Cici menoleh, tapi Rico sudah berlari menuju tempat duduknya sebelum sempat Cici menyerbunya.
שׂשׂשׂ
“Aila!” panggil Cici.
Aila yang duduk dibelakang Cici langsung menoleh, tersenyum kearah Cici.
“What’s up?”
“Tau gak?”
“Elu kan belum bilang ke gue, jadi gue gak tau”
Cici mendengus, berdehem dan mulai bicara dengan suara pelan, “Rico tau kalau gua demen sama Afri!”
Aila tersenyum jahil, “Bagus dong? Siapa tau elo mau dicomblangin sama Rico, ya gak?”
Respon yang benar-benar tidak diharapkan Cici!
“Dan... kayaknya Afri juga udah tau” sambung Cici.
“Kok bisa?”
“Rico nemu kertas yang tulisannya ada nama-nama cewek sama cowok yang udah dipasang-pasangin”
“Ada nama gue?”
Cici mengangguk, “Ada, paling pertama, Ari dan Aila”
Aila menelan ludah, “Tapi... bagus dong!”
“Apanya?” Cici menyeringai.
“Ya... emang udah saatnya perasaan lo itu terungkap. Jangan dipendam lama-lama, Ci! Udah tiga tahun begitu”
“Tapi... kan gua gak siap, lagian juga gua gak mau ada yang tau”
“Kenapa?”
“Ya.. siapa tau pas dia tau perasaan gua, dia malah jadi ilfeel sama gue”
“Cici, jangan mikir yang enggak-enggak dong!”
Cici mendesah pelan, kejadiannya benar-benar tidak bisa ia duga.
“Lebih baik dia gak usah tau deh, La! Gua punya firasat yang gak enak untuk kelanjutannya” Cici mulai khawatir.
“Siapa tau dia juga suka sama elu! Kan gak ada yang bisa menyangka, Ci”
“Aila... jangan nyemangatin gua sama suatu hal yang gak pasti deh”
Cici membenahi posisi duduknya dan kembali menghadap kedepan. Aila malah menggeleng tidak karuan.
שׂשׂשׂ
“Kenapa?” tanya Rico.
Afriza yang duduk disampingnya hanya Cuma bisa nyengir kuda, “Kayaknya... pulpen gue habis tintanya deh!”
Rico mendengus, “Pinjam sana!”
“Elu punya pulpen dua?”
Rico mengeleng, “Boro- boro punya pulpen dua, punya pulpen satu aja gue bersyukur banget!”
”Yang punya dua siapa ya?”
“Mm... gue tau!”
“Siapa?”
Rico mulai tersenyum jahil, “Si Cici”
“Cici?”
Rico mengangguk, “Iya, si... Farashi Meili, eh!! Meili Farashi!”
“Iys, gue juga tau kok kalau si Meili itu Cici”
“Pinjem sana!”
Afriza menggeleng, “Gak mau ah!”
“Kenapa? Inget kertas yang kemaren ya?”
Sedikit ragu, tapi Afriza mengangguk juga.
“Coba elo pastiin dulu, makanya... pinjem pulpen sana!”
“Elu aja deh!”
Rico mendengus pelan, Afriza terlihat sedikit tidak jantan kalau seperti ini. Tapi akhirnya ia memanggil Cici juga. “Cici!”
Yang dipanggil namanya menoleh, “Apa?”
Rico melambaikan tangan, Cici jadi sedikit kecewa saat tau yang memanggilnya Rico, “Kirain gua Afri yang manggil” batinnya.
“Apa?” tanya Cici lagi.
“Afri mau pinjem pulpen!” jawab Rico.
Afriza jadi ikut menoleh kearah Cici, lalu beralih ke Rico, dan kembali ke Cici, “Bohon! Bohong! Si Rico yang gak punya pulpen!” ia mencoba berdalih sambil mengacungkan pulpennya, yang sebenarnya tintanya habis.
Cici hanya menggeleng, tidak minat menanggapi lelucon Rico.
“Ci!” Rico memanggil lagi.
“Apa?”
“Pinjem pulpen! Kasihan tuh si Afri gak punya pulpen” ujar Rico sambil melirik Afri, jahil.
Dengan enggan Cici merogoh tempat pensilnya, meraih sebuah pulpen dan melemparnya kearah Rico.
“Thank’s ya!” ucap Rico.
“Balikin lagi!” tegas Cici.
Rico mengacungkan jempol sampai Cici kembali mengerjakan soalnya. Ricopun langsung menyikut Afriza dan menyodorkan pulpen pinjaman tadi padanya.
“Gimana? Udah bisa menilai?” tanyaRico.
Afriza mengambil pulpen tadi sambil mengangguk. Ia tersenyum sipul, “Ya... gitu deh”
שׂשׂשׂ
Cici mengetuk-ngetukkan jari- jari tangannya pada salah satu sisi meja. Ia hampir saja meleleh kalau saja suara bel tidak menyelamatkannya sekarang.
“Seneng banget nih??” goda Fia.
Cici menoleh, tanpa menghentikan aktifitas jari-jari tangannya.
“Seneng apanya?”
“Iya, seneng banget udah bel!”
“Hahaha...” Cici tertawa renyah.
Setelah Bu Ami menutup pelajaran, semuanya bergegas keluar dari kelas.
“Cici!”
Cici sudah tau siapa pemilik suara ini, ia menoleh dan menemukan Rico yang menyodorkan pulpen.
“Nih, thank’s ya!”
Cici mengambil kembali pulpennya, “Sama-sama”
“Kenapa bukan Afri aja yang ngembaliin pulpennya?” batin Cici.
“Aah... gua tau, elu ngarep si Afri kan yang ngembaliin?” goda rico, seakan ia bisa membaca pikiran orang lain saja.
“Enggak tuh” ucap Cici cuek.
“Masa?”
Cici menggeleng, ia harus pergi dari tempat ini sebelum Rico menggodanya lebih jauh. Ia meninggalkan kelas dengan cepat menuju tempat parkir. Hari yang menjengkelkan! Setidaknya itu yang dipikirkan Cici saat ini.
שׂשׂשׂ
Oke, ini pasti jadi hari yang benar-benar menyebalkan untuk Cici. Ia terjebak hujan! Terpaksa ia meneduhkan motornya, dan tentu saja ia juga ikut berteduh. Tanpa pikir panjang ia segera berlari ke sebuah kios.
“Gua kira hari menyebalkannya udah selesai, ternyata masih ada kelanjutannya!”
Cici menoleh kesekitarnya, ada beberapa murid dari sekolahnya ikut berteduh bersamanya.
“Cici?”
Cici menoleh, ternyata Ari yang memanggilnya.
“Kehujanan ya?”
Cici mengangguk, “Iya, mana hujannya deras banget!”
Ari tersenyum, “Masuk dulu yuk!” ajaknya.
“Masuk?” Cici bingung.
“Iya, masuk ke dalam” ajaknya lagi.
Cici memerhatikan kios yang ada dibelakangnya, tempat ia berdiri sekarang. Ia sangat tau kios ini! Cici terheran sendiri, kenapa ia tidak sadar kalau itu adalah toko roti milik keluarga Ari.
“Masuk yuk!” ajak Ari lagi. “Entar lo kedinginan kalau diluar aja”
Cici mengangguk, lalu mengekor dibelakang Ari dan masuk kedalam toko. Toko roti yang cukup unik, didesain dengan konsep klasik bertema kekolonialan Belanda. Sekilas mirip seperti restoran kecil, namun hanya menyediakan panganan roti dan kudapan, juga minuman.
Mereka duduk disalah satu meja, Cici sangat merasa nyaman berada disaini.
“Sebentar ya!” pamit Ari.
Ia berjalan menuju dapur, dan tak lama ia segera kembali dan duduk dihadapan Cici.
“Disini hangat ya?” Cici membuka pembicaraan.
Salah atu alis Ari terangkat keatas, “Hangat?”
Cici mengangguk, “Iya, ditoko elo in inyaman banget! Cocok buat berteduh pas hujan”
“Jadi Cuma jadi tempat persinggahan aja gitu?”
Cici speechless,stuck! Mencoba meralat kata-katanya barusan, tapi Ari langsung tertawa.
“Bukan gitu—“
“Iya, gue ngerti kok—“ potong Ari, “—gue juga suka kok ada disini, suasananya menyenangkan”
Cici mengangguk.
“Terus.. wangi roti disini nyebar kemana-mana, pantesan aja pas gua masih diluar tadi, gua nyium wangi roti”
Ari tertawa lagi.
“Penciuman elo yang tajam, atau emang wanginya sampai kedepan toko?”
Cici nyengir kuda, ”Dua-duanya deh kayaknya”
Mereka tertawa bersamaa, sampai salah satu pegawai toko mengantarkan dua potong cake dan dua cangkit coklat panas ke meja mereka.
“Eh, gua kangak pesan apa-apa!” bela Cici setelah pegawai tadi menghilang dibalik pintu dapur.
“Ini pesenan gue kok!” jelas Ari, “Daripada lo Cuma duduk disini, mending lo cobain cake-nya”
Cici mengangguk.
“Ayo cobain” ujar Ari lagi.
Cici mengambil potongan kecil dari cake-nya an memakannya. Tiramisu! Ia juga mencoba coklat panasnya sekarang.
“Panaaas!!!” seru Cici.
Ari tertawa, “Namanya juga coklat panas”
Cici nyengir kuda, lalu menyeruput coklat panasnya lagi perlahan. Kemudian meletakkannya ketempat semula.
“Enak kan?”
Cici mengangguk, “Iya, enak banget!”
Ari ikut menyeruput coklat panasnya.
“Mmm... gimana hubungan lo sama Aila?” tanya Cici setelah Ari meletakkan cangkirnya.
Yang ditanya hanya senyum-senyum. Cici merasa aneh saat melihat ekspresi Ari, “ini orang kenapa senyum-senyum?”
“Baik kok!” jawab Ari akhirnya.
“Syukur deh”
“Yaa... Aila baik, gue seneng dia bisa nerima gue yang kayak begini”
“Emang lo kayak begimana?” tanya Cici bingung.
“Ya... kayak begini”
Cici mendengus, “Aneh lo!”
“Yang aneh tuh siapa sih??” balas Ari.
Keduanya tertawa lagi.
“Aila beruntung banget punya orang kayak elu, orang yang sayang banget sama dia” ujar Cici disela-sela obrolan mereka.
Ari mengerutkan dahi, “Kalau elo?”
“Gak ada, kayaknya... gak ada yang nyayangin gua deh! Yah... selain orang-orang terdekat gua”
“Belum muncul aja, Ci”
“Iya, belum muncul” ulang Cici.
Ari menyeruput coklat panasnya lagi, Cici ikut membeo.
“Jangan bandingin elo sama Aila, Ci! Atau... sama orang lain. Pasti hasilnya bakal beda!”
Cici mengangguk, “Gua paham kok!”
Terbesit bayangan Afriza untuk sekejap, Cici langsung mengusirnya sambil tersenyum kecut.
“Kenapa, Ci?” tanya ari begitu menyadari perubahan air wajah Cici.
 Cici menggeleng, “Nothing”
“Mmm... lagi pula elo kan dulu sering bilang gak mau pacaran sebelum elo sukses, ya gak?”
Cici tertegun, ia benar-benar mengingat kata-kata itu sekarang. Kata-kata yang mengantisipasinya agar tidak sembarangan jatuh cinta.
“Masih inget aja, Ri” timpal Cici.
“Iya, laah! Gue sebenarnya setuju sama kata-kata lo itu. Dan gua juga salut, elo berhasil membuktikan kata-kata itu!”
“Makasih”ucap Cici.
“Terus—“ Ari tersenyum jahil, “—elo pernah gak jatuh cinta?”
שׂשׂשׂ

Diposting oleh Unknown di 19.26 0 komentar
Postingan Lama
Langganan: Postingan (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod