Cinta itu bentuk suatu emosi
Tapi aku gak tau bagaimana cara mengendalikan emosi
Dan sejak
Aila menceritakan semuanya pada Afriza, terciptalah benteng yang membatasi Cici
dan Afriza. Keduanya tidak pernah bertegur sapa lagi. Dan sekarang, hanya satu
yang Cici inginkan.
Afriza tidak
membencinya.
Tapi,
sepertinya harapan Cici yang ini, tidak akan berjalan lancar. Ia memastikanya
sekali lagi, saat kebetulan ia da Afriza berpapasan. Afriza menatapnya dengan
tatapan acuh, sorot matanya tidak pernah dilihat Cici sebelumnya, tatapan yang
sangan tajam.
Mungkin
tatapan jijik?
“Oh my God!
Apa segitu menjijikkannya kah gua sampai dia gak mau senyum sama sekali?!”
“Cici,
awas!!!”
Cici
tersentak, hampir saja ia terjatuh! Kalau saja tidak ada seseorang yang meraih bahunya.
“Lo kenapa,
Ci?”
Cici menoleh,
Ari rupanya. Ia melepaskan dirinya.
“Oh, gak
apa-apa kok!” jawab Cici.
Ari memandang
perempuan dihadapannya itu dengan tatapan tidak yakin.
“Swear deh!”
Cici mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya, untuk meyakinkan Ari.
“Bener?”
Cici
mengangguk.
“Bagus deh”
ucap Airi, “Tapi bener gak apa-apa?”
Cici
mengangguk lagi.
“I’m well...”
“Oke kalau
begi—“
“Elu ngapain
ada didaerah anak IPA?” potong Cici.
“Nyariin
Aila, dia dimana ya?”
“Tadi sih
kalau gak salah lihat, dia ke perpus”
Ari
mengangguk.
“Makasih ya,
Ci!” ucap Ari kegirangan.
Cici ikut
senang melihat Ari yang terlihat senang dan bersemangat. Laki-laki itu memang
benar-benar baik. Cici bersyukur Aila punya pacar yang menyayanginya sepenuh
hati. Setidaknya, sangat berguna untuk Cici, agar Afriza tidak terlalu dekat
dengan Aila.
Sementara
itu, Ari masuk kedalam perpustakaan dan tampak mencari sosok Aila di setiap
kubikel. Akhirnya ia berhasil menemukan Aila, yang sedang berbincang dengan
Fia, dan—
“Rico?”
Ia
mengurungkan niatnya dan beranjak pergi dari perpustakaan.
שׂשׂשׂ
Dinding
antara Cici dan Afriza makin terlihat, apalagi saat ujian semester 2 ini tiba.
Mereka semakin terlihat seperti orang asing. Sampai ujian berakhirpun, Afriza
tetap dingin.
“Sangat
dingin”
“Gak betah ya
dicuekin?” goda Fia.
Cici nyengir
kuda, mereka keluar dari kelas.
“Siapa yang
gak betah coba?!” Cici sewot.
“You have
to move on, Ci!”
“Kalau move
on segampang boker di celana sih, udah gua lakuin dari dulu!”
Fia tertawa
mendengar banyolan Cici.
“Ya... ya...
gue paham kok soal luka di hati lo itu”
“Jangan sok
puitis deh”
Fia tertawa
lagi.
“Coba ya Fi,
kalau aja Aila gak pernah cerita-cerita sama Afri soal gua suka sama dia! Gak
bakalan begini nih!” sesal Cici.
“Jadi... lo
tetep mau jadi secret admirer gitu?”
Cici
mengangguk.
“Dan suka
sama dia diam-daiam?”
Cici
mengangguk lagi.
“Gila lo!
Timpal Fia. “Kalau begitu, gimana caranya dia bakalan respek elo? Kan dia gak
tau kalau lo suka sama dia selama ini!”
Cici
merangkil fia, ia meletakkan bibirnya didekat telinga Fia seraya berbisik.
“Lihat
sekarang, lebih parah kan dari gak di respek? Gua di cuekin habis-habisan!”
Fia mendorong
dirinya jauh-jauh dari Cici, memandang sahabatnya itu sambil menggeleng.
Tatapan mata Cici menusuk, seperti menahan rasa kesal, rasa kesal yang dalam.
“Wajah lo
serem!” tegur Fia.
Cici
mengerutkan dahinya.
“Serem?
Kenapa?”
“Gue tau elo
kesel banget, Ci. Ya... bener juga sih kata-kata lo, parahan yang sekarang!”
“Bener kan?”
Cici menuruni
anak tangga, disusul fia dibelakangnya.
“Aila masih
dikelas ya?” tanya Cici.
“Iya, tadi
kan dia nyuruh kita pergi duluan”
Cici menghela
napas pelan.
“Fia!”
Fia menoleh,
“Apa?”
“Mm...
mungkin gak?”
Fia
menggeleng tak paham, “Apanya?”
“Mungkin gak
kalau orang yang disukai sama Afri itu—“
“Siapa?”
“—Aila?”
Fia hampir
terjatuh kalau saja ia tidak bisa menahan bobot tubuhnya sendiri saat menuruni
tangga. Cici tak kalah terkejutnya
melihat Fia yang nyaris terjatuh tersandung anak tangga.
“Kenapa lo?”
tanya Cici.
“Gue kaget
tau!”
“Hahaha... iya
deh, maaf udah bikin kaget”
“Kok elo bisa
ngomong kayak begitu sih?”
Keduanya
berjalan sejajar.
“Kok elo bisa
ngomong kayak begiu sih?” ulang Fia.
Cici
tersenyum simpul.
“Firasat gua
cukup kuat, Fiaa!!”
“Jangan Cuma
ngandalin firasat, lo juga harus buktiin kebenarannya juga!”
“Ya... selain
itu, gua juga bisa baca bahasa mata Afriza pas lagi ngobrol sama Aila!” Cici
menarik menarik napas panjang. “Dan dari matanya, mengisyaratkan kalau dia
cinta mati sama Aila! Dan dia pengen banget dapetin Aila” jelas Cici.
“Well...
temen gua udah alih profesi jadi paranormal nih?” goda Fia.
“Gua
seriusan!”
“Bahasa lo
itu, lho! Masa’ menginginkan segala sih?”
Cici tertawa,
“Lho? Afri itu kan bule tulen, bule itu kalau suka sama orang, punya ambisi
buat dapetin orang itu!”
Fia
menggeleng, ia mempercepat langkahnya dan berhenti dihadapan Cici. Cici ikut
menghentikan langkahnya.
“Kenapa?”
“Whatever
you say, you have to move on now, oke?” tegas Fia.
Cici
tertegun, namun mengangguk juga.
“Ya... gua
juga lagi nyoba move one, dari dulu malah!” Cici tertawa, namun tawanya
terdengar parau.
“Nih orang
bener-bener patah hati!” pikir Fia.
“Oke, I
see” Fia menghela napas, “You need a hug?”
Cici
menggeleng, namun tetap saja sahabatnya ini memeluknya. Cici memang tampak
kuat, namun sebenarnya ia amat rapuh.
“Gua bakal
mati-matian menata hati nih pas liburan” ujar Cici.
“Bagus dong,
mumpung liburan, dan lo gak bakalan ketemu sama Mr. Grey itu”
“Si mata
abu-abu?”
Fia
mengangguk.
“Emang lo mau
liburan kemana, Ci?”
“Entahlah, ke
bulan kali!” jawab Cici asal.
שׂשׂשׂ
Cici menatap
raportnya, nilai semester 2-nya meningkat dari semester 1. Ternyata patah hati
ada untungnya juga, jadi sama sekali buta akan masalah cinta!
“Ranking
berapa lo?” tanya Rico.
Cici baru
menoleh, namun Rico terlalu gesit! Dia sudah merebut raport Cici.
“Wih!!
Ranking 3 cuy!!” Rico kegirangan.
“Apaan sih
lo! Sini balikin!!” pinta Cici dengan paksa.
Rico memasang
muka cemberut, lalu mengembalikan raport Cici.
“Jangan marah
dong, Ci...”
Cici tertawa,
“Lebay lo! Masa’ gitu aja marah”
“Bagus!” ucap
Rico girang, “Gitu dong, kalau lo marah-marah, nanti Afriza gak bakalan naksir
elo!” goda Rico.
Cici
tersenyum kecut, tidak menanggapi ucapan rico. Sebenarnya ia khawatir, khawatir
Afriza akan mendengar ucapan Rico barusan.
“Elo ranking
berapa? Cici bertanya balik.
“Gue?”
Cici
mengangguk.
“Ya...
lumayan lah, ranking 6” jawab Rico bangga.
“Itu mah
bukan lumayan lagi! Tapi bagus!” Aila ikut menimpal.
“Ah elu!
Ikut-ikutan aja” Rico berpura-pura kesal. Namun Cici dan Aila hanya tertawa
melihat tingkah Rico.
“Gue tau lo
ranking sati, La” ujar Rico sok pesimis.
“Ya... gak
gitu juga, Rico” ucap Aila.
Iya, paham.
Congratz ya!” Rico mengulurkan tangan.
Aila meraih
tangan itu dan bersalaman.
“Selamat juga
udah masuk 10 besar” ucap Aila.
“Iya” Rico
mesem-mesem sendiri.
“Ehem!” Cici
sengaja berdehem. Kedua orang tadi melirik ke arah Cici, dan baru ingat kalau
ia masih ada disana. Keduanya jadi salah tingkah sendiri.
“Sesama
mantan, gak boleh akrab!” Cici sok bijak.
“Lha?
Kenapa?” tanya keduanya, nyaris bersamaan.
Keduanya jadi malu sendiri.
Cici
menggeleng.
“Tuh, gua
bilang juga jangan terlalu akrab! Sampai-sampai ngomongnya barengan gitu, lho!”
goda Cici.
“Kenapa?”
tanya Rico, kali ini Aila diam saja, takut berbarengan lagi.
“Masih
tanya?”
Rico
tertegun, mukanya sedikit memerah, “Oh, enggak kok! Gue... paham”
“Kenapa sih?”
kini Aila yang angkat bicara.
“Lo masih
nanya, La?” tanya Cici terheran.
“Nanti kalau
terlalu akrab, takut CLBK gitu tuh!” jelas Rico dengan santainya, rona merah di
mukanya sudah hilang.
Sinyal di otak
Aila mulai bekerja, semburat merah muncul di wajah Aila. Sekarang gantian Aila
yang merona malu.
“Aila? Muka
lo kenapa? Merah gitu warnanya” goda Rico.
“Emang iya?”
tanya Aila sedikit panik.
“Iya, salting
ya?” timpal Cici ikut menggoda.
Rico
tersenyum, ia mencoba membalikkan keadaan.
“Elu tau
rankingnya Afri gak?” tanya Rico.
Cici tak
tertarik membahasnya lebih jauh.
“Tau, ranking
18 kan?” tebak Cici asal-asalan.
“Wah! Elo
udah nanya ke dia?” tanya Rico tak percaya.
“Serius? Udah
nanya?” Aila membeo.
Cici sendiri
terkejut, ia menggeleng.
“Enggak,
ngapai nanya-nanya?”
“Terus dapet
angka 18 dari mana?” tanya Rico.
“Asal”
“Asal?”
“Wah...
jangan-jangan lo bener-bener ada chemistry sama Afri! Kereeen...” Rico
menoleh kearah Afriza dan memanggilnya, “Afri!!! Si Cici—“
Cici tak
mempedulikan Rico, maupun Aila, apalagi Afriza. Ia meraih tasnya dan pergi
meninggalkan kelas.
שׂשׂשׂ
“Sial!”
gerutu Cici.
Ia melempar
tubuhnya keatas kasurnya yang empuk. Ia tidak bisa mengendalikan emosi itu,
emosi yang berwujud cinta.
“Benarkah gua
jatuh cinta sama seorang Afriza Leonardi Grey? Cowok blasteran bermata abu-abu.
Ternyata... jatuh cinta itugak seindah di film-film atau novel picisan!”
Pikirannya
dipenuhi Afriza sekarang.
“Pergi
dong!!!” gerutu Cici.
Bayangan itu
belum hilang.
“Pergiii!!!”
jerit Cici.
“Siapa yang
disuruh pegi?”
Cici menoleh
kearah pintu. Bima kakaknya, sedang menyembulkan kepalanya masuk.
“Lo kenapa,
Ci?”
Cici
mmenggeleng, ia pun beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Bima. Kakaknya
itu juga membuka lebar pintu kamar Cici.
“Are you
okay?”
Cici
mengangguk.
“Iya, baik
banget kok!”
שׂשׂשׂ